December 29, 2012

Puisi Malam part 5

December 24, 2012

Sembunyi

Kita berlari menengadah sembari menghadap langit yang kian meredupkan sinar sang raja. Awan kelabu  yang mulai menyelimuti sebagian kawasan timur, tak menghentikan tanganmu untuk terus menarik tanganku dan membawaku lari bersama. Terlonjak sejenak saat kaki kita menghamburkan dedaunan yang meranggas, ketika mata kita menangkap pinggir tebing curam sejarak beberapa meter dari kaki. Tiada celah lagi untuk kembali bahkan untuk mati sekalipun.
Danau keabadian menampung segala air kedukaan di bawah sana, yang mungkin akan menjadi saksi bisu persembunyian kita selanjutnya. Mungkin pada mulanya tidak masalah dengan segala persoalan yang membelit selama kita masih bisa berlari. Tapi aku mulai bertanya, pada hati yang terus berputar. Sampai kapan kita terus berpindah, menghindar, serta tak tangkas.

Di ujung pelarian kita, aku pun berhenti. Berhenti untuk mempercayaimu lagi. Berhenti untuk berlari serta keinginan untuk kembali, ke tempat dimana kita membuat ketajaman masalah dan bertaruh untuk mempertanggungjawabkannya. Lelah ini memuncak. Aku tak dapat bersembunyi lagi begitupula dengan dirimu. Tak akan ku biarkan kau bersembunyi lagi.
Menyerah dan bukan kalah. Pemberani dan bukan pecundang. Biarkan hatiku diikat dengan hati yang tak mengenalku. Selama itu benar. Selama tak membuat perpecahan. Selama semua dapat terselesaikan. Selama  itu bukan dengan cara bersembunyi dan selama kita bersama menghadapi, kelak kita akan mendapat jawaban dari segala masalah. Walau itu terkadang melukai.

Inspired by: Hilary Duff - Hideaway

December 19, 2012

Titik Akhir

Aku sudah berhenti di sebuah titik. Bukan sebagai titik beku ataupun titik cair, melainkan titik datar yang berjurang dalam. Sudah ku pikir berulang kali untuk rencana ini, namun hati masih terasa janggal dan berat akan sebuah kenyamanan ini. Tapi mata tak dapat membalik ke belakang, begitupun jalan hidup. Aku ingin terbang ke udara tapi kau masih saja ingin berjalan di darat. Aku ingin menyelami samudera ataupun lautan tapi kau masih tetap nyaman berjalan di tanah. Aku ingin tingkat perubahan dari hubungan ini menjadi jelas dan nyata, bukan semakin merunduk dan semu.
Inilah sebuah keputusan. Sulit dan juga rumit bahkan tak dapat didefinisi oleh rumus atau penjabaran apapun. Tak butuh kematangan dalam berpikir terlalu lama. Sekalipun ini sudah tidak dapat menyatu lagi, selamanya mungkin akan terasa lebih sulit dalam mempersatukan lagi. Timur dan barat, selatan dan utara, kanan dan kiri, kinetik dan potensial, aku dan kamu. Tidak pernah sejalan selama ini dan tidak akan pernah. Akhir. Sebuah jawaban dari gabungan senyawa maupun rumus yang terangkum dalam waktu dan tak menemukan jawaban akhir melainkan titik akhir.

December 16, 2012

Khayalan

Tiada yang namanya tidak mungkin. Apalagi di dalam mimpi yang tidak terencana dan tak dikira. Mendadak muncul kau yang hanya melintas singkat di dunia nyata. Sekiranya pernah terbesit pikiranku tentangmu tapi tak sampai kau menjadi tamu di mimpiku hingga ku alami satu masa indah yang semu pada malam itu. Kedekatan yang tak pernah ku bayangkan di dunia nyata tapi dapat tergores indah dalam mimpi. Padahal tak ada sedetik pun ku memikirkanmu pada waktu sebelumnya. Kau muncul secara tiba-tiba, tak terduga, jauh dari pikiran ku tentangmu. Menepis tak ada gunanya, berharap hanya sekadar mimpi. Percuma jika terus dibayangkan. Kenyataan dan hiasan malam, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kelak, tak akan ku tolak juga jika kau bertandang lagi menghiasi bunga tidurku selanjutnya. Walau keindahan itu hanya dalam mimpi yang menghadirkanmu.

Inspired by: The Groove - Khayalan

December 13, 2012

Tak Lagi Sama

Di sebuah malam pekat tanpa cahaya bulan maupun bintang, sepasang pemuda-pemudi menghentikan mobil sedan di bukit timur. Gemerlap lampu yang berasal dari kota di bawah bukit menghiasi bak kunang-kunang di ladang ilalang. Pemuda-pemudi itu saling terdiam dan berpikir masing-masing.
Entah untuk mengusir keheningan, sang pemudi itu turun dari mobil. Semilir angin malam langsung menerpanya, meniup kencang rambut panjangnya. Ia pun makin merapatkan jaket hitam yang dikenakannya. Tak lama kemudian, sang pemuda pun ikut turun dari mobil dan berjalan menghampiri sang pemudi yang berdiri menghadap ke pemandangan malam hari kota bawah bukit timur.
"Tempat pertama kita." ujar Rifky, nama sang pemuda.
"Ya!" balas sang pemudi yang bernama Christine. "Masih seperti empat tahun lalu." pikiran Christine pun mencoba terbang ke memori empat tahun silam namun buru-buru hatinya menutup pintu memori tersebut. Tak dapat dicegah lagi, mendadak sebutir demi sebutir cairan bening mengalir deras di pipi Christine. Sudah tak ada alasan lain lagi baginya untuk terus menampung air mata di danau matanya. Hatinya lega namun terluka akan arti air mata ini.
"Kenapa menangis?" tanya Rifky pelan seraya mencoba menghapus air mata yang membasahi pipi Christine.
Christine masih terisak pelan. "Semoga keputusan ini nggak salah." jawab Christine dalam isakannya.
Rifky menggelengkan kepala sembari tersenyum. "Nggak ada yang salah. Semua benar. Memang ini adanya."
Christine menatap dalam Rifky. Hatinya tahu benar jika pemuda yang berdiri di depannya itu sangat ia cintai, terlalu dicintai malah. Namun saling mencintai bukan berarti tidak ada perbedaan yang melintang. Bukan berarti semuanya lancar seperti rencana.
"Cinta mungkin masih sama tapi tujuan mungkin sudah tak lagi sama." ujar Christine mencoba menenangkan diri. Ia sudah tak menangis lagi. "Sekompak apapun hubungan yang terbangun tapi tanpa tujuan akhir yang sama, itu percuma belaka."
Rifky mengangguk mengerti. "Maaf." ucapnya, lalu menyambut kedua tangan Christine.
"Nggak ada yang salah di sini. Anggap ini proses pendewasaan diri." ralat Christine.
Mereka pun saling memberi pelukan. Sebuah pelukan erat, yang mereka tahu jika pelukan ini bukan sebagai obat maupun penarikan keputusan kembali, melainkan sebagai kenangan sebelum mereka saling melepas untuk selamanya.

December 10, 2012

Kemungkinan

Mereka bertemu di depan danau biru siang hari ini. Suasana yang sejuk serta matahari yang tak membagi sinarnya secara mengerang, membuat pertemuan di antara Ariana dan Yoga semakin berkesan. Sedari jauh, Yoga dapat menangkap sosok Ariana yang hari ini tampil luar biasa menarik, seperti biasanya, dengan balutan mantel kuning lemon, dipadu rok mini hitam, serta heels yang berwarna serupa dengan mantel yang dikenakan gadis tersebut.
"Hai, maaf udah nunggu lama!" ujar Yoga ketika sudah berada di hadapan Ariana. Gadis itu hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
"Aku juga baru datang." Ariana membalas. "Nah, sekarang ada perlu apa nih kita ke sini?" tembak Ariana langsung. Nafas Yoga tercekat begitu mendapat pertanyaan seperti demikian dari Ariana. Matanya berputar mencari tempat yang nyaman untuk berbicara. Hingga pada akhirnya, Yoga menarik tangan Ariana untuk mengikutinya. "Nggak usah jauh-jauh juga, Ga." cetus Ariana tiba-tiba sehingga langkah mereka terhenti di depan bangku cokelat di bawah pohon cemara. "Aku tahu kamu mau bicara tentang apa." nafas Yoga tertahan sebentar. Butuh waktu sekiranya lima detik sebelum ia membalikan badannya, lalu memeluk Ariana seerat mungkin.
"Mungkin aku satu-satunya pria paling pecundang yang pernah ada, Na. Aku juga heran kenapa aku bisa terlahir seperti ini." dalam pelukannya, Yoga tak henti-hentinya memaki diri sendiri. Tangan Ariana yang penuh kelembutan pun menepuk-nepuk pelan punggung Yoga.
"Ini bukan salah siapa-siapa, Ga. Kamu bukan pecundang kok." Ariana membesarkan hati Yoga.
"Tapi kenapa aku susah sekali untuk bilang 'nggak' sih?" Ariana pun menyudahi pelukan mereka. Mata mereka saling bertatapan. Ada yang aneh dari pandangan Ariana. Ada pandangan tidak rela di sana namun senyumnya berusaha menutupi itu semua.
"Sudah waktunya kamu bahagia, Ga. Kalau sama aku terus, kamu nggak mungkin bahagia. Percaya deh, Vira lebih mampu buat kamu bahagia." Ariana berkata dengan tersenyum manis. Gadis itu tahu benar jika hatinya benar-benar terkoyak dengan perkataannya itu namun senyumannya mampu membuat hatinya tulus.
"Kenapa aku mesti dijodohkan dengan Vira? Kenapa nggak sama kamu aja?"
"Vira adalah kakakku satu-satunya. Ia lebih membutuhkan kamu dan pria baik seperti kamu pantas mendapatkan wanita baik seperti Vira."
"Dan kamu?"
Ariana terdiam. "Buat Vira bahagia! Itu sama saja dengan buat aku bahagia." ia tak menjawab dengan jelas pertanyaan Yoga. Sebelum ia berubah pikiran, Ariana membalikan badannya dan meninggalkan Yoga. Gadis itu tahu bakal membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk merelakan Yoga dan ia tahu juga bakal membutuhkan waktu yang tidak sebentar bagi Yoga untuk melupakan dirinya. Walau segala kemungkinan mungkin masih bisa saja terjadi.

Inspired by: Ecoutez - Percayalah

December 9, 2012

Kau Pilih Caramu

Kau datang dengan sapuan tatapan tak biasa. Mengerling penuh pesona sempat membuatku terserentak sejenak. Aku tahu kalau ini semu. Aku tahu kalau ini sangat beresiko. Namun aku tetap mendekati pusaran tajam itu. Entah penasaran atau sekadar permainan. Tapi rasa ingin memiliki sudah pasti ada.
Kau merespon balik. Sungguh di luar dugaan. Kita pun memulai drama ini tanpa skenario dan berjalan natural. Hingga waktu benar-benar berdetak mengingatkanku jikalau ini semua ada tenggang waktunya. Keindahan mungkin ada batas wajarnya karena mimpi juga tak selamanya sesuai dengan harapan, apalagi kenyataan.
Dengan mudah kau menjanjikan keindahan untuk yang lain, seperti keindahan yang kau janjikan padaku. Sudah tahu aku tak akan terkejut melihatnya walau memang ada perasaan kecewa di lubuk hati. Tapi inilah kau dengan caramu. Cara tidak biasa yang kau pilih untuk bermain dengan cinta.

inspired by: Babendjo - Kau Pilih Caramu