September 7, 2011

I am not a stupid girl (part 6-final)


Ketulusan Alanis dalam menuntut ilmu ternyata membuahkan hasil yang manis. Alanis berhasil lulus UAN dengan nilai NEM yang tidak begitu rendah. Dari enam mata pelajaran, Alanis mendapatkan nilai NEM sebesar 54,67. Walaupun nilai NEM tak diperhitungkan, Alanis tetap saja merasa senang akan hasil yang maksimal itu. Sekarang ia tinggal tunggu diwisuda dan mengikuti tes SPMB.
          “Gue grogi, Al.” ucap Silla ketika mereka berada di acara wisuda. Silla adalah siswi di sekolah Alanis yang mendapatkan NEM tertinggi sehingga ia akan dipanggil untuk naik ke atas panggung sebagai siswi teladan. Orangtua Silla juga diundang dalam acara wisuda.
          “Nggak usah grogi. Lo cantik kok.” puji Alanis kepada Silla. Hari ini Silla memakai kebaya kuning gading yang bermode sederhana.
          “Kalau gue cantik, apalagi lo.” balas Silla. Alanis memang selalu tampil luar biasa. Tubuhnya dibalut kebaya biru tua yang terbuat dari bahan brokat dan satin. Rambutnya disanggul rapi. Ia mengenakan high heels biru tua juga, sesuai dengan kebayanya.
          “Gue udah biasa kayak gini. Lo kan jarang-jarang berdandan.” Silla memincingkan matanya ke arah Alanis. “Jangan marah dong!”
          “Dasar lo ini! Yaudah lo tunggu di luar aja bareng nyokap dan kakak gue.” mata Alanis terbelalak begitu Silla bilang kata-kata ‘kakak gue’.
          “Kakak lo?” tanya Alanis terkejut. “Kan yang diundang nyokap dan bokap lo? Kenapa yang datang malah kakak lo?”
          “Bokap gue lagi dinas keluar kota. Kebetulan Surya nggak ada acara apa-apa, jadi dia nganterin nyokap ke sini deh!” terang Silla.
          Alanis termenung sebentar. Ayahnya Silla dinas keluar kota? Selama berteman dengan Silla, Alanis tak tahu apa pekerjaan ayah Silla. “Sil, kalau boleh tahu ya…tapi lo jangan marah!” pinta Alanis.
          “Apaan?”
          “M…sebenarnya, bokap lo kerja apa?” tanya Alanis. “Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa.”
          “Oh, itu? Bokap gue seorang dosen.” Alanis mengerjapkan mata saking tak percayanya.
          “Dosen? Dimana?”
          “Di sebuah universitas lah.” Alanis tak menyangka jika ayahnya Silla dan Surya adalah seorang dosen.
          “Seharusnya Flora dan Vera tahu apa pekerjaan bokap lo biar mereka bisa ngaca.” tukas Alanis ketus.
          “Nggak usah diungkit lagi!” pinta Silla.
          Setelah berbincang dengan Silla di belakang panggung, Alanis pamit untuk kembali ke tempat duduk. Baru saja ia keluar dari balik panggung, Alanis langsung menemukan keberadaan Surya di tengah orang banyak. Hari itu Surya tampak luar biasa tampan walaupun hanya mengenakan kemeja batik lengan pendek, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel. Sudah hampir satu setengah bulan Alanis tak bertemu dengan Surya. Pertemuan terakhir mereka adalah seminggu sebelum UAN berlangsung. Cukup lama juga mereka tak bertemu. Tanpa disadari, Alanis begitu merindukannya.
          “Ya ampun, jantung gue kenapa sih?” cetus Alanis dalam hati. Mendadak jantungnya berdegup kencang ketika matanya tertuju pada Surya. Belum sempat ia kembali ke tempat duduk, tatapan mereka saling bertemu. Tanpa diduga, Surya tersenyum padanya dan menghampirinya. Rasanya Alanis ingin pingsan di tempat.
          “Udah ketemu Silla di balik panggung ya?” tanya Surya.
          “U…udah.” jawab Alanis terbata-bata. Nafasnya mendadak tak beraturan.
          “Oh ya, gimana NEM lo? Dapat nilai berapa?” tanya Surya lagi.
          “Alhamdullilah, memuaskan.” Alanis menjawab tanpa memberitahukan berapa nilainya. Tatapan Alanis pun tertuju pada Surya. Setelah UAN berlangsung, otomatis Surya sudah tak akan mengajar les privat untuk dirinya lagi. Itu berarti ia tak akan bertemu Surya lagi setiap akhir pekan.
        “Bagus deh kalau memuaskan.” ujar Surya sambil tersenyum. “Berarti gue nggak punya hutang besar ke ibu lo.” Alanis menatap Surya sedih. Ia masih sangsi akan perasaannya terhadap Surya. Entah rasa sayang atau hanya rasa kagum.
          “Surya.” panggil Alanis. Mereka berdua saling bertatapan. “Kayaknya gue suka sama lo deh!” akhirnya pernyataan itu meluncur begitu saja dari mulut Alanis. Sepertinya Alanis sudah tak dapat mengontrol mulutnya lagi untuk jujur kepada Surya. “T…tapi gue masih sangsi sama perasaan ini. Gue nggak tau suka sama lo itu gara-gara apa. Apa mungkin hanya kagum atau…” potong Alanis. Cukup lama juga Alanis tak menamatkan kalimatnya itu. “benar-benar sayang.” sambungnya lagi.
          Sejujurnya hati Surya juga terkejut akan pernyataan dari Alanis seperti ini. Selama ini Surya hanya menanggap dirinya sebagai pungguk yang merindukan sang bulan jika ia menyukai Alanis. Tetapi sekarang peribahasa itu pecah. Ternyata sang bulan juga merindukan pungguk.
          “Alanis,” akhirnya setelah sekian lama Surya mengenal Alanis, baru kali ini ia menyebut nama Alanis secara jelas. “sebelumnya gue mau bilang makasih banget karena lo suka sama gue. Gue juga terkejut. Tapi,” inilah yang dikhawatirkan oleh Alanis, mendengar kata ‘tapi’. “tapi gue bingung mesti ngerespon apa. Gue sendiri juga belum pernah mengalami hal ini.”
          “Hah? Lo belum pernah pacaran?!” pekik Alanis tak percaya. “Masa sih?”
          “Kalau gue pacaran, gue nggak bakal seperti ini sekarang.” cetus Surya. “Gue orangnya terlalu konsisten. Jika gue punya pilihan A dan B, masing-masing dari pilihan itu ingin gue dapat, gue harus memilih, mana yang prioritas dan mana yang bukan. Karena jika kedua pilihan itu gue jalanin secara bersamaan, pasti salah satu pilihannya ada yang terbengkalai. Maka dari itu, gue fokus untuk belajar dan meraih pendidikan tinggi sebelum gue harus memilih seorang wanita.” mata Alanis berkaca-kaca mendengar ucapan Surya.
          “Jadi alasan lo nggak punya cewek…”
          “Gue mau menemukan yang terbaik. Gue nggak mau ganti-ganti pasangan seperti orang lain. Gue mau, sekali gue pilih, itulah pilihan pertama dan terakhir gue.” wajah Alanis memerah.
          So sweet banget sih lo!” puji Alanis.
          “Masa sih? Perasaan wajar-wajar aja ah.” pungkas Surya.
          Alanis tersenyum lebar. “Jadi, apa tanggapan lo mengenai pernyataan gue tadi?” Alanis kembali ke topik.
         “Gue nggak mau nyakitin lo sekarang dengan cara mengumbar-umbar janji. Kita lihat saja nanti. Jika kita jodoh, kita pasti bersama walaupun gue di kutub utara dan lo di kutub selatan. Let it flow.” Surya menanggapi.
          “Oke deh, Tuan Tampan! Semoga aja gue yang pertama dan yang terakhir buat lo.” harap Alanis seraya mengedipkan sebelah matanya kepada Surya. Ternyata hal ini dapat membuat Surya salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan.
          “Oh ya, ibu lo SMS gue kemarin! Dia puas akan kerja keras gue jadi guru les privat lo. Sepertinya kontrak gue bakal diperpanjang deh jadi guru les privat lo.” Alanis langsung mem-belalakan matanya.
          “Serius lo?” Alanis benar-benar tak percaya.
          “Tanya aja ke ibu lo!” ingin rasanya Alanis meloncat dan memeluk Surya karena saking girangnya. Sepertinya Alanis akan berusaha keras supaya Surya dapat memilihnya. Tetapi dengan cara yang berintelektual tentunya.

I am not a stupid girl (part 5)


Setelah membongkar kedok  palsu Bisma, Vera, dan Flora, Alanis lebih sering menyendiri di perpustakaan ketika istirahat tiba. Setiap bertemu Vera dan Flora di kelas, Alanis selalu bersikap seolah-olah tak mengenal mereka. Ketika ia bertemu Bisma di kantin pun Alanis bersikap yang sama, seperti yang ia lakukan kepada Vera dan Flora. Sedangkan Bisma hanya bisa memandang dari jauh dengan penuh penyesalan.
          Selain itu, setelah Silla mengetahui jika selama ini Surya, saudara kembarnya, telah menjadi guru les privatnya, mendadak lebih pendiam jika berhadapan dengan Alanis begitupun sebaliknya. Alanis merasa sangat tidak enak karena selama ini ia tak jujur padanya mengenai hal ini. Alanis merasa Silla marah padanya karena ketidakjujurannya itu. Karena merasa risih akan sikap diam-diaman mereka, akhirnya Alanis berusaha menjelaskan segalanya kepada Silla ketika mereka bertemu di perpustakaan.
          “Gue mau ngomong sama lo.” ujar Alanis kepada Silla. Mereka berdua pun keluar dari perpustakaan dan berbicara di lorong perpustakaan yang pada jam itu terlihat lebih sepi. Setelah mereka duduk di bangku di sekitar situ, barulah Alanis menjelaskan semuanya. Ia juga meminta maaf kepada Silla soal ketidakjujurannya, lalu ia juga meminta agar Silla tak marah lagi padanya.
          “Lo ngomong apa sih, Al?” tanya Silla tak mengerti.
          “Lo jangan marah terus sama gue. Gue kan udah minta maaf, Sil.” Alanis meminta.
          Silla tertawa pelan mendengar permintaan Alanis. “Siapa juga yang marah ke lo? Ada-ada aja sih lo.” mendengar ucapan Silla, Alanis pun kebingungan.
          “Tapi semenjak lo tahu kalau Surya mengajar les buat gue, sikap lo lebih diam ke gue. Lo nggak pernah ngajak ngobrol gue lagi, seolah-olah kita itu nggak saling kenal.” Alanis membe-berkan apa yang ia rasakan selama ini.
          “Ya ampun, gue ngelakuin hal itu karena gue tahu lo lagi patah hati, jadinya gue nggak mau ngeganggu lo. Makanya gue mau ngebiarin lo sendiri dulu.” bantah Silla.
          “Tapi kalau gue jadi lo, gue bakal kesal ke teman dekat gue jika mereka nggak jujur tentang sesuatu ke gue. Misalkan ada dua sahabat, yaitu A dan B. Si A punya rahasia tetapi ia tak menceritakannya ke B, pasti B marah dan kesal karena A tak menceritakan rahasianya itu ke B. B akan menanggap jika A tak mempercayai B sehingga rahasinya tak diceritakan kepada sahabat dekatnya itu.” Alanis berargumen.
          Silla malah tertawa mendengar argumen Alanis. “Hei, Alanis!” Silla menepuk bahu kiri Alanis. “Kita itu manusia. Kita pasti punya rahasia dan aib yang tak seharusnya diceritakan, bahkan ke sahabatnya sendiri, karena menurut gue, sedekat-dekatnya kita sama orang, tak harus semua rahasia harus diceritakan ke orang terdekat.” Silla menerangkan. “Dan juga, tak ada alasan bagi si B untuk marah ke si A karena jika B adalah teman yang baik, B tidak akan memaksa untuk mengetahui rahasia A yang tidak ingin diceritakan kepada si B.” sambungnya lagi.
          Alanis termenung dengan kata-kata Silla. Akhirnya ia mengerti tentang sesuatu, tentang persahabatan sesungguhnya. Lalu ia pun sadar jika Silla adalah sahabat yang baik. Ia menghar-gai privasi orang lain. Ia tak pernah membalas keluhan Alanis dengan amarah tetapi dengan sindiran yang membangkitkan semangat. Tetapi ia menyesal, mengapa ia baru bertemu Silla di saat seperti ini, dimana semuanya akan berpisah.
          “Makasih ya, Silla.” Alanis tiba-tiba memeluk Silla dengan erat. Silla pun tersenyum, lalu membalas pelukan Alanis.
          “Gue juga minta maaf karena gue pernah ngatain lo sebagai Gadis Oplas.” tukas Silla.
          “Mau gadis oplas, mau gadis centil, atau gadis bawel, yang penting masih punya otak yang pintar.” balas Alanis.

Inilah kali pertama Alanis bertemu Surya lagi setelah insiden ia memutuskan Bisma di depan Surya. Suasana les pun agak lebih tenang. Alanis cenderung lebih pendiam dan tak protes jika Surya memarahinya karena tak hafal rumus.
          “Rumus ini pasti ada di buku saku yang pernah lo beli itu.” oceh Surya.
          “Iya, gue lagi cari.” balas Alanis sembari membuka-buka buku saku yang pernah ia beli atas saran dari Surya. Setelah menemukan rumus yang dimaksud, ia pun mulai mengerjakan soal.
          “Oh ya, mengenai rumus-rumus ini, lo nggak perlu menghafal sampai jungkir balik. Asal lo mengerti, lo pasti bisa hafal.” saran Surya. Alanis menangguk tanpa matanya beranjak dari buku.
          Setelah waktu menunjukan pukul lima sore, Surya pun menyudahi les privatnya. Alanis pun membereskan peralatan tulis dan bukunya. “Untuk dua minggu ke depan, kita akan ngadain try out untuk soal-soal UAN. Minggu depan kita coba try out biologi dan matematika, lalu minggu berikutnya kita coba try out fisika dan kimia.” jelas Surya ketika Alanis selesai membe-reskan peralatan belajarnya. “Ada pertanyaan?”
          Alanis menggeleng. Wajahnya terangkat, lalu ia menatap Surya. “Gue mau minta maaf atas kejadian tempo hari.” Alanis mulai berkata. “Gara-gara urusan pribadi gue, lo malah jadi terlibat, malah kena fitnah.” Surya tetap terdiam sampai pada akhirnya tangis Alanis meledak. Wajah cantiknya basah akibat air mata yang ia keluarkan. Sambil menangis, Alanis mencurahkan mengenai rasa sakit hati yang ia rasakan kepada Bisma, Flora, dan Vera. Ia juga menceritakan mengenai rencana balas dendamnya kepada mereka bertiga dengan cara ikut les privat ini untuk memperpintar diri sendiri. Namun di hari balas dendam itu, ia runtuh. Mungkin di depan Vera dan Flora, Alanis dapat memenangkan pertandingan tapi tidak di depan Bisma. Ternyata ia sama sekali tidak bisa menghadapi Bisma untuk balas dendam, selain berucap kata putus. Yang mem-buat Alanis merasa kalah adalah ia menangis di depan Bisma setelah mengucapkan kata putus. Itu berarti ia kalah mental.
          “Tolong jangan nangis di depan gue!” suruh Surya kepada Alanis. Wajah Alanis terangkat. Wajahnya basah dengan air mata. Setelah mendengar perintah dari Surya untuk tidak menangis, Alanis pun menyeka air matanya dengan tangannya. “Gue agak keberatan mengenai balas dendam lo dengan cara ikut les privat untuk membuat lo pintar di depan musuh-musuh lo. Belajar dan menuntut ilmu jangan dijadikan sebagai ajang pembuktian diri bahwa kita pintar tetapi harus diresapi dari hati. Jika belajar dan ilmu hanya dijadikan ajang pembuktian diri, ilmu yang telah didapat tak akan bertahan lama.” Surya memberikan nasihat. “Yang terpenting seka-rang adalah lo serap ilmu yang lo dapat dengan baik, lalu amalkan dikehidupan sehari-hari tanpa dengan tujuan ingin membuat sadar segelintir orang atau memamerkan kemampuan diri. Kalau lo berbuat baik dengan ilmu yang lo dapat, dengan atau tanpa sadar, segelintir orang itu akan melihat perubahan dari diri lo. Diam-diam mereka akan menyadari betapa hebatnya perubahan di diri lo atau mungkin mengikuti ilmu yang telah lo bagi.” sambungnya lagi.
          “Kalau mereka nggak sadar gimana?” tanya Alanis cemas.
          “Gue udah bilang, jangan khawatir akan sadar atau tidaknya orang mengenai perubahan kita. Lo terus aja berbuat baik dengan ilmu yang udah lo dapat. Karena ilmu lo pasti akan mendapatkan apresiasi dari orang lain, dan bukan dari segelintir orang tersebut.” ujar Surya lagi. “Segelintir orang itu adalah manusia yang mempunyai hati dan rasa, serta menyadari akan sebuah perubahan.”
          Senyum Alanis mulai terbit. Ia merasa tenang akan perkataan Surya barusan. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya jika ia tak bertemu Surya dan Silla. Ia benar-benar bersyukur Tuhan telah mempertemukan dia dengan sepasang saudara kembar yang pintar itu.
          “Makasih ya, mulai sekarang gue mau konsentrasi ke UAN.”
          Semakin hari, Alanis semakin sibuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi UAN maupun SPMB. Bimbel yang biasanya ia ikuti dua kali seminggu, sekarang ia ikuti setiap hari, dari Senin hingga Jumat. Belum lagi Sabtu ia sibuk pengayaan dan Minggu harus les privat bersama Surya. Kesibukan Alanis telah membuat ia melupakan masalahnya dengan Bisma, Vera, dan Flora. Alanis juga sudah bisa bersikap normal dan netral jika bertemu salah satu di antara mereka bertiga.
          Waktu terus berjalan hingga pada akhirnya minggu yang dinanti-nanti pun datang. Alanis grogi bukan main begitu ia memasuki ruangan, tempat dimana ia akan mengerjakan soal UAN. Untungnya Silla selalu ada untuk memberikan dukungan.
          “Jangan grogi, Al! Gue yakin kita bisa lulus dengan maksimal.” Silla menyemangati Alanis.
          Alanis pun menangguk mengerti. “Makasih ya, Sil.” ujar Alanis. “Lo juga semangat!” Alanis balas menyemangati Silla.

I am not a stupid girl (part 4)


Hari Minggu ini, matahari bersinar sangat terik sehingga menimbulkan fatamorgana di jalanan aspal yang gersang. Namun untungnya, angin membagi tiupannya sehingga manusia yang hidup di kota Jakarta tak begitu kepanasan. Suhu yang hampir menyentuh 37 derajat celcius tak menghalangi Surya untuk datang ke rumah Alanis dan memberikan les privat.
          Tapi suhu panas ini sangat berpengaruh bagi Alanis. Rasanya ia ingin pergi ke salon untuk merelaksasikan dirinya yang telah berperang dengan pelajaran selama seminggu ini. Belum lagi ditambah ocehan Surya jika ia tidak bisa menjawab soal yang diberikan padanya atau lupa akan rumus yang telah Surya berikan padanya untuk dihapalkan.
          “Rumus soal ini udah gue kasih minggu kemarin.” inilah ocehan Surya sedari tadi kepada Alanis.
          “Tapi gue baru ngelihat soal kayak gini. Kalau rumus ini udah dikasih minggu kemarin, berarti contoh soalnya juga udah dikasih minggu kemarin dong? Tapi,” Alanis membuka-buka buku catatannya. “nggak ada soal yang setipe kayak gini.”
          “Minggu kemarin lo udah nyerah buat ngerjain soal, jadi untuk contoh soal dari rumus ini, baru gue kasih hari ini.” Surya mengingatkan. “Apa lo nggak ingat, lo udah hampir menangis minggu kemarin pas gue mau kasih lo satu soal lagi?” kepala Alanis menengadah, lalu mencoba mengingat-ingat. Sebenarnya Alanis ingat akan insiden itu tapi ia terlalu malu untuk mengakui-nya.
          “Iya deh, gue kerjain!” untuk menutup kasus ini, Alanis pun langsung berkutat dengan soal yang satu ini.
          Diam-diam Surya memperhatikan Alanis ketika Alanis sedang mengerjakan soal. Raut wajah kebingungan terlukis di wajah Alanis yang berkulit putih itu. Matanya cemerlang, rambut panjangnya dibiarkan tergerai di punggungnya. Angin yang bertiup saat itu tak jarang membuat rambut Alanis terbang dan menutupi matanya. Alanis pun agak terganggu, lalu menyingkirkan rambut yang tadi menutupi wajahnya.
          “Ikat rambut lo!” suruh Surya. Alanis menyadari jika Surya berbicara padanya, namun ia berpura-pura tak tahu. “Kalau ada angin lagi, nanti lo nggak konsen ngerjain soalnya. Rambut panjang lo itu dari tadi mengganggu.” Alanis memberanikan menatap Surya.
          “Ngomong sama gue?” tanyanya ragu-ragu.
          Surya tersenyum sinis. “Ada ikat rambut di situ. Kenapa nggak digunain?” mata Surya tertuju pada ikat rambut warna merah yang tergeletak di meja, di sebelah buku catatan Alanis.
          Alanis menjalin rambutnya ke belakang dan mengikat rambutnya dengan model buntut kuda. “Udah, Pak Guru!” Alanis kembali mengerjakan soal.
          Hari ini, Alanis tak hanya belajar fisika tetapi belajar biologi dan kimia juga. Tepat jam lima sore, otak Alanis seperti pie yang habis dipanggang dari dalam oven dan telah matang. Otaknya penuh rumus fisika dan kimia, lalu materi biologi. Dunia serasa miring.
          “Minggu depan saatnya matematika. Jadi lo siapin buku matematika yang lo punya dari sekolah lo.” suruh Surya sebelum pulang.
          Alanis mengantarkan Surya hingga depan rumah. “Iya, gue ngerti, Pak Guru!” balas Alanis.
          “Oh ya, ibu lo mana? Gue mau pamit.”
          “Kayaknya lagi pergi sama bokap.”
          “Yaudah, salam aja buat orangtua lo!” Alanis menangguk mengerti.
          “Oh ya, keadaan Silla gimana?” dari tadi Alanis ingin menanyai hal itu namun selalu lupa. “Udah tiga hari dia nggak masuk sekolah.”
          Surya mengenakan jaket hitam, lalu mengambil masker yang akan ia gunakan untuk menutupi hidung dan mulutnya dari polusi jalan raya. “Sudah mendingan. Paling besok dia udah bisa masuk sekolah.” Surya menjelaskan.
          Alanis mengangguk mengerti. “Salam aja buat keluarga lo di rumah.”
          “Iya.”
          Belum sempat Surya pergi, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah Alanis. Mobil itu sangat dikenal oleh Alanis. Lalu seorang pemuda turun dari mobil tersebut dan menghampiri Alanis.
          “Hallo, Sayang!” Bisma merangkul pinggang Alanis, lalu mengecup pipi kiri Alanis. Kejadian itu benar-benar terjadi di depan mata Surya. Alanis terkejut akan kelakukan Bisma barusan. Setelah itu, ia melirik ke arah Surya sambil memamerkan senyuman kemenangannya.
          “Apa-apaan sih?” Alanis agak marah karena kelakukan Bisma yang tak sopan seperti itu.
          “Loh, biasanya juga kamu nggak marah.” jawab Bisma sembari mengerling ke arah Surya lagi. Alanis pun ikut mengerling ke arah Surya. Ekspresi wajahnya seolah-olah berkata kepada Surya, ‘Itu nggak benar. Cowok inilah yang udah nyakitin hati gue. Dia cowok pengkhianat.’.
          Surya yang sedari tadi diam pun akhirnya berkata. “Gue pamit pulang dulu.” ujar Surya kepada Alanis, lalu memakai masker.
          “Hei, tunggu dulu, boy!” cegah Bisma. “Kita belum berkenalan. Lo siapa ya?” nada suara Bisma sengaja ditinggikan karena ia ingin tahu siapa pemuda ini dan ada hubungan apa dengan Alanis.
          “Udah deh, dia mau pulang.” Alanis memecahkan cegahan Bisma kepada Surya.
          “Kamu,” Bisma berucap sambil menatap Alanis. “nggak selingkuh dari aku kan?” mata Alanis terbelalak. Ingin sekali ia berteriak di depan wajah Bisma, ‘Apa di rumah lo nggak punya kaca??? Sekarang siapa sih yang selingkuh???’.
          “Nggak usah berkata yang macam-macam!” sergah Alanis kepada Bisma. “Surya, lo boleh pulang.” setelah mengenakan helm, Surya pun menyalakan mesin motornya.
         “Oh, jadi namanya Surya? Bagus juga namanya. Seperti matahari.” entah apa maksud Bisma berkata seperti itu. Sebagian besar mungkin ia mengejek. Surya tak menghiraukan berkataan Bisma, lalu segera pergi dari rumah Alanis. “Sampai jumpa, Surya.” Bisma melambaikan tangannya kepada Surya sambil menyeringai menyebalkan. Setelah Surya pergi, Alanis segera masuk ke rumah tanpa menghiraukan keberadaan Bisma. “Loh, sayang,” Bisma mengejar Alanis yang masuk ke rumah. “kok kamu nggak senang aku di sini?”
          Alanis menghela nafas. “Ngapain kamu ke sini?” tanyanya setengah malas.
          “Aku telepon nggak diangkat. Aku SMS nggak dibalas. Kamu kemana aja hari ini?” ketika les sedang berlangsung, Alanis sengaja meninggalkan ponselnya di kamar agar konsentrasinya tak terganggu. Jadi ia tak tahu jika ada telepon dan SMS masuk.
          “Aku lagi sibuk les.” jawab Alanis singkat.
          “Jadi yang tadi itu guru les lo?” Bisma menunjuk keluar rumah.
          “Iya.” balas Alanis. “Hari ini aku capek. Kamu bisa pulang nggak? Aku mau istirahat.” pinta Alanis. Bisma pun dapat melihat raut capek dari wajah Alanis sehingga ia mengalah.
          “Oke, kalau itu mau kamu. Aku pulang dulu ya!” Bisma mencoba mencium pipi Alanis lagi namun kali ini Alanis menghindar.

Ternyata perkataan Surya benar. Keesokan harinya, Silla sudah masuk sekolah. Walaupun wajahnya masih pucat, Silla tetap bersemangat pergi ke sekolah. Alanis yang mendapati Silla telah masuk sekolah kembali, begitu sangat senang.
          “Lo udah sehat, Sil?” tanya Alanis kepada Silla.
          “Alhamdulillah, sudah mendingan.” jawab Silla. “Oh ya,” Silla berkata namun secara terbata-bata. “untuk jeruk yang kemarin,” Silla terdiam. “makasih ya!” Alanis tersenyum, lalu menangguk.
          “Sama-sama.” balas Alanis riang.
          “Maaf pas lo datang gue lagi tidur.”
          “Nggak apa-apa kok! Yang penting sekarang lo udah sehat.” Silla mendadak merasakan ketulusan hati dari sorot mata dan senyuman Alanis. Ia pun merasa sangat bersalah tempo hari, dimana ia mengatai Alanis sebagai Gadis Oplas.
          “Makasih ya sekali lagi!” cetus Silla lalu ikut tersenyum. Hampir setengah tahun Alanis sekelas dengan Silla, ia tak pernah melihat Silla tersenyum padanya seperti ini. Biasanya, ia hanya mendapatkan hadikan ataupun bentakan, seperti yang ia dapatkan dari Surya. Baru kali ini Alanis percaya jika Silla dan Surya adalah saudara kembar karena sifat mereka yang disiplin tertanam pada diri masing-masing.
          Kedekatan Silla dan Alanis memang mengundang banyak pertanyaan, terutama dari Flora dan Vera. Kedua teman dekat Alanis itu sepertinya telah tersingkir secara perlahan dari hidup pertemanan Alanis. Setiap istirahat tiba, Alanis tak pernah ke kantin bersama mereka lagi. Ia memilih membawa bekal dari rumah, lalu makan di kelas bersama Silla. Setiap les bimbel juga. Alanis lebih memilih duduk di sebelah Silla dibandingkan duduk di sebelah Flora dan Vera.
          Ternyata kejanggalan ini tak hanya menimpa Flora dan Vera. Bisma pun merasakan hal yang sama akan perubahan dalam diri Alanis. Bisma jarang lagi mengantarkan Alanis pulang karena Alanis selalu menolaknya. Alasan Alanis cukup standar. Ia ingin pergi ke toko buku atau ingin belajar bersama Silla. Pada malam minggu ataupun hari libur pun mereka jarang bersama. Alanis beralasan ia ingin konsentrasi belajar dulu.
          Kejanggalan demi kejanggalan terus terjadi. Contohnya hari ini, ketika pelajaran fisika dimulai. Ibu Henna, guru fisika yang mengajar di kelas Alanis, memberikan soal-soal fisika. Jika ada yang bisa, diharapkan murid tersebut dapat menulis jawabannya di papan tulis.
          “Ada yang mau mengerjakan soal nomor satu?” tanya Ibu Henna kepada seisi kelas. Dengan sigap, Alanis mengacungkan tangannya. Vera dan Flora yang melihat kejadian ini pun langsung terperangah. “Silakan maju, Alanis!” Alanis menunjukan langkah percaya diri menuju papan tulis. Ia pun mulai menulis jawabannya. “Lalu nomor dua?” kali ini Silla yang bersedia. Sebelum mengerjakan soal di papan tulis, Silla melirik Alanis terlebih dahulu. Alanis yang menyadari lirikan Silla pun membalas lirikan Silla lalu tersenyum.
          Setelah menjawab soal, Silla dan Alanis pun kembali ke bangku masing-masing. Kini giliran Ibu Henna yang mengoreksi jawaban mereka berdua. Tanpa diduga, kedua jawaban itu benar. “Ya, jawabannya Alanis maupun Silla benar!” lalu Ibu Henna menerangkan teori dan sebabnya kepada seisi kelas.
          Diam-diam Alanis bangga akan dirinya. Ia menatap Vera dari belakang. “Sekarang lo bakal liat Alanis yang baru, Vera. Gue nggak bakal bisa lo bohongin terus-terusan.”
          Ternyata perubahan dalam diri Alanis tak dibiarkan begitu saja oleh Vera dan Flora. Mereka berdua akan menginterograsi Silla. Sepulang sekolah, Silla mampir ke toilet sebentar. Momen ini tak disia-siakan oleh Vera dan Flora. Kebetulan toilet sedang sepi, Vera dan Flora pun langsung menginterograsi Silla.
          “Silla Paramitha!” panggil Vera sinis. Silla yang sedang mencuci tangan di wastafel pun menatap Vera dari balik cermin. Ia pun membalikan badannya.
          “Ada apa ya?” tanya Silla tenang.
          “Pura-pura polos dia.” celetuk Flora. “Gue mau nanya, pelet apa yang lo tempelkan kepada Alanis sehingga ia begitu nurut dan deket sama lo?” Silla menyeringai.
          “Kalau mau bertanya, yang jelas.” suruh Silla. Ia tetap tenang karena ia tak ingin terbawa emosi juga.
          “Apa tujuan lo deketin Alanis?” kali ini tak tanggung-tanggung, Vera mendorong Silla ke dinding. “Lo mau ngincer uangnya doang kan? Lo tahu kalau Alanis dapat diperalat kan sehingga lo mau berteman dengannya?”
          Silla menatap Flora dan Vera secara bergantian. “Kenapa lo bisa berpendapat kalau gue berteman sama Alanis karena mengincar uangnya? Dan kenapa kalian berpendapat kalau gue tahu jika Alanis dapat diperalat?” Silla berargumen. “Apa selama ini kalian berteman dengan Alanis karena mengincar uangnya? Atau karena Alanis dapat diperalat oleh kalian?” Silla terlalu pintar untuk dikalahkan oleh Flora dan Vera. Mereka berdua pun langsung diam seribu bahasa.
          Tanpa diduga, Alanis menyerbu masuk. “Heh, apa-apaan ini?” gertaknya setengah berteriak. Ia berjalan menghampiri ketiga gadis itu, lalu berdiri di sebelah Silla. “Ada apa ini?” tanya Alanis kepada Flora dan Vera.
          Flora dan Vera saling berpandangan penuh kebingungan. Akhirnya Vera-lah yang mem-beranikan menjawab. “Gue heran sama perubahan lo, Al. Kita heran kenapa lo dekat banget sama Silla? Gue curiga jangan-jangan dia,” ujar Vera sembari melirik Silla sinis. “berteman sama lo dengan tujuan nggak baik. Jangan-jangan tujuan dia cuma manfaatin uang lo doang!”
         “Lo tau kan, dia itu dari keluarga nggak mampu. Jadi, kita berdua khawatir dia itu matre.” Flora menambahkan.
          “Emang lo dari keluarga nggak mampu, Sil?” tanya Alanis sambil menengok ke arah Silla. Belum sempat Silla menjawab, Alanis berkata lagi. “Menurut gue, dia dari keluarga mampu kok. Dia masih bisa sekolah, dia punya rumah, dia punya pakaian, dan dia juga masih bisa berobat pas sakit.” bantah Alanis. “Oh ya, tadi kalian bertanya apa tujuan Silla berteman sama gue? Sekarang gue mau tanya, apa tujuan kalian berteman sama gue?” Flora dan Vera benar-benar ciut. Mereka sudah kalah argumen. Tak ada sisa bantahan lagi. “Ngomong karena uang aja susah banget.” sindir Alanis.
          “M…maksud lo apa sih, Al?” ujar Vera terbata-bata.
          “Lo nuduh kita berteman sama lo hanya karena uang?” Flora terlihat sudah mau nangis. “Gue sama Vera dari keluarga mampu, Al. Kita berdua mampu beli barang-barang apapun di mall atau butik. Jadi, mana mungkin orang sekaya kita itu matre?” bantah Flora.
          “Ah, kata siapa?” celetuk Alanis. “Jika ada yang bisa dimanfaati, mau orang kaya atau miskin, bisa jadi matre. Oh tunggu dulu, kalian itu bukan matre tapi…” bola mata Alanis berputar menatap langit-langit toilet, lalu setelahnya kembali menatap Flora dan Vera secara bergantian. “terlalu irit.” Alanis menyilangkan kedua tangannya di dada. “Terlalu irit sama aja pelit nggak sih, Sil?” kali ini Alanis bertanya kepada Silla. Silla tak menjawab dengan perkataan tapi dengan tawa yang tertahan. “Tuh, Silla aja setuju. Tapi menurut gue, lebih berbobot orang miskin yang matre daripada orang kaya yang matre karena untuk apa sih orang kaya matre?” skor 3-0 untuk kemenangan Alanis. Flora dan Vera telah kalah tiga kali. Mulai dari pertanyaan Alanis tentang tujuan Flora dan Vera berteman dengannya, penyanggahan pendapat dari Alanis mengenai tuduhan Flora terhadap Silla jika Silla adalah anak tak mampu, serta kecaman keras Alanis mengenai lebih berbobot orang miskin yang matre daripada orang kaya yang matre. “Jangan membanggakan uang! Karena suatu saat, uang hanya dapat membuat orang dibodohi oleh orang lain.” Alanis mencontoh perkataan Surya tempo hari yang sangat menohok. Skor bertambah menjadi 4-0 untuk Alanis. “Kayaknya kita udah menghabiskan waktu dengan percuma deh, Sil.” Alanis melirik jam tangan yang bertengger di tangan kirinya. “Pulang yuk!” ajak Alanis. Sebelum Flora dan Vera membantah lagi, Alanis dan Silla pun keluar dari toilet terlebih dahulu, meninggalkan Flora dan Vera yang masih setengah hidup dan setengah sadar.
          Sepanjang perjalanan dari toilet hingga di depan pintu gerbang sekolah, Silla hanya bisa diam sambil melirik ke arah Alanis dan mengagumi argumen Alanis di toilet tadi. Alanis pun menyadari jika sedari tadi Silla meliriknya terus.
          “Ada apa sih, Sil? Dari tadi lo ngeliatin gue terus.” tebak Alanis.
          “Gue Cuma heran. Dari mana lo dapat kata-kata bagus yang tadi?” tanya Silla heran. Alanis berpikir. Ia lupa telah mengatakan apa tadi.
          “Kata-kata bagus yang mana ya?”
          “Yang ada kalimat ‘Jangan membanggakan uang!’ itu loh. Keren deh kata-katanya.” puji Silla. Alanis tidak dapat memberitahu Silla dari mana ia mendapatkan kata-kata seperti itu karena kata-kata itu Alanis dapat dari Surya.
          “Dari novel.” ucap Alanis berbohong. “Oh ya, lo mau langsung pulang?” tanya Alanis mengalihkan pembicaraan. Mereka pun telah sampai di halte bus.
          “Gue mau ke toko buku dulu. Kebetulan gue udah janjian sama orang di sana.” jawab Silla.
          “Toko buku?” mata Alanis mendadak berbinar-binar. Dulu mata Alanis berbinar-binar jika ia ingin pergi ke mall atau butik. “Gue juga mau beli buku. Boleh gue ikutan?” pinta Alanis penuh permohonan. Tak ada pilihan lain lagi bagi Silla selain mengizinkan Alanis ikut dengannya.
          Mereka pergi ke toko buku yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Karena Alanis mengikuti Silla, tak ada alasan lain lagi bagi Alanis untuk menolak ketika Silla mengajaknya naik metromini menuju pusat perbelanjaan yang mereka tuju. Selama tujuh belas tahun Alanis tinggal di Jakarta, baru kali ini ia merasakan naik metromini. Biasanya, ia diantar oleh supir atau naik taksi. Makanya ia begitu terkejut tak berdaya ketika naik metromini.
          Sesampainya di pusat perbelanjaan, Alanis mampir dahulu ke toilet. Ia mencuci muka dahulu dengan facial foam-nya, lalu menaburkan bedak kepada wajahnya dan terakhir ia me-nyemprotkan parfum ke seragam sekolahnya. Rambutnya ia sisir, lalu ia ikat buntut kuda karena ia malu untuk menggerai rambut panjangnya akibat rambutnya telah bau polusi Jakarta. Silla yang melihat kerepotan Alanis pun hanya menggelengkan kepala saking herannya.
          “Kenapa lo naik metromini sih? Kenapa nggak naik taksi aja?” bentak Alanis kesal kepada Silla ketika mereka keluar dari toilet.
          “Ongkos taksi sepuluh kali lipat dibandingkan naik metromini. Gue nggak punya uang untuk ngebayarnya.” balas Silla.
          “Gue bisa bayarin ongkos taksi, Sil. Jadi lo nggak usah ngajak gue naik metromini.” sergah Alanis.
          “Gue nggak mau dicap matre seperti yang teman-teman lo kira. Lagian kalau lo mau naik taksi, seharusnya lo sendirian aja pergi ke sininya. Nggak usah bareng sama gue.” sarannya.
          “Oke, oke, gue emang selalu kalah kalau debat sama lo!” Alanis pun menyudahi keluhan-nya. “Terus, lo janjian sama siapa di toko buku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
          “Sama anggota keluarga gue.” jawab Silla, lalu mereka naik lift ke lantai 3.
          “Oh, sama anggota…” Alanis baru sadar. Anggota keluarga Silla? Siapa itu? Apakah yang Silla maksud adalah…
          “Saudara kembar gue. Lo pasti udah pernah ketemu dia kan? Kalau nggak salah, pas itu lo dianterin dia sampai jalan raya kan?” hati Alanis melonjak secara mendadak. Ia akan bertemu Surya hari ini. Inilah kali kedua ia bertemu Surya diluar jam les privat.
          “Oh…S…Surya ya?” Alanis berpura-pura tidak mengenal Surya.
          “Tenang aja, dia nggak keberatan kok kalau gue ngajak teman.” Silla mencoba menenang-kan Alanis yang diam-diam sedang galau berat.
          Mereka pun sampai di lantai tiga. Setelah menitipkan tas di penitipan barang di toko buku, Alanis dan Silla pun mencari Surya. “Mana ya tuh orang?” Silla pun mencari-cari saudara kembarnya itu. Mata Alanis pun ikut menyapu, mencari keberadaan Surya. Sampai pada akhirnya, Silla memekik, “Oh, itu dia!” Silla menunjuk ke seorang pemuda. Hati Alanis benar-benar terlonjak. Suhu toko buku yang dingin karena pendingin ruangan mendadak memanaskan suhu tubuhnya. Tangannya berkeringat. Entah mengapa jantungnya berdegup kencang.
          Begitu Surya membalikan badannya, tatapannya langsung bertabrakan dengan tatapan Alanis. Sebenarnya Surya kaget total namun ia dapat menyembunyikan keterkejutannya di depan saudara kembarnya. “Udah sampai lo?” pandangan Surya pun tertuju pada Silla.
          “Maaf gue telat.” ucap Silla. “Oh ya, gue bawa teman! Pasti kalian udah kenal kan?” tanya Silla sambil melihat Surya dan Alanis secara bergantian. Surya dan Alanis pun mengangguk ragu. “Tapi kayaknya belum ada perkenalan secara formal deh! Surya, ini Alanis, teman sekelas gue. Alanis, ini Surya, saudara kembar gue.” hampir lima detik tak satupun dari Surya ataupun Alanis mau mengulurkan tangan lebih dulu.
          “Gue udah pernah kenalan sama dia, Sil. Lo aja yang nggak tau.” ujar Surya. Alanis menyipitkan matanya menatap Surya. Sejak pertama kali ia berkenalan dengan Surya, hingga sekarang ini, tak pernah ada jabat tangan sebagai tanda perkenalan.
          “Oh gitu toh? Bagus deh!” cetus Silla. “Eh, gue mau nyari buku dulu ya! Alanis, gue tinggal dulu.” belum sempat Alanis mengiyakan, Silla sudah pergi terlebih dahulu. Dan pada akhirnya, tinggallah Alanis berdua bersama Surya.
          “Lo belum ngaku juga ke keluarga lo kalau lo itu guru les gue?” tanya Alanis.
          “Gue nggak mau ngaku, bukannya belum ngaku.” jawab Surya, lalu ia mencari-cari buku di rak depan dia.
          “Kenapa?” Alanis ingin tahu.
          Surya mengambil sebuah buku yang tak tersegel oleh plastik. “Karena gue nggak mau dibilang anak yang nggak bersyukur.” Surya mulai membuka-buka buku dan membacanya.
          “Bersyukur apa sih maksud lo?” Surya tak meladeni pertanyaan Alanis sehingga akhirnya Alanis merebut buku yang sedang Surya baca.
          “Apaan sih?” Surya merasa kesal karena diganggu ketika sedang membaca buku.
          “Jawab dulu pertanyaan gue!” suruh Alanis.
          “Itu bukan urusan lo!” balas Surya. “Mau tau aja sih urusan orang lain!” Surya mencoba merebut buku itu tetapi Alanis mencegahnya terus.
          “Urusan lo jadi urusan gue juga. Tinggal bilang alasannya aja kok susah banget!”
          Surya tersenyum sinis. “Sejak kapan urusan gue jadi urusan lo? Emang gue itu cowok lo?” Alanis terdiam mendengar perkataan Surya.
          “M…maksud gue, sampai kapan kita berpura-pura nggak kenal kayak gini di depan Silla? Gue nggak enakan sama dia kalau suatu saat dia tahu yang sebenarnya.” Alanis beralasan.
          Surya berjalan mendekati Alanis sehingga membuat Alanis mundur beberapa langkah. “Silla akan mengerti.” kali ini, buku yang tadi diambil oleh Alanis berhasil direbut kembali oleh Surya. “Oh ya,” Surya tidak jadi lagi membaca buku. “gue punya buku bagus buat lo.” Alanis terkejut. Buku apa? Sejak kapan Surya tahu selera baca Alanis? “Ikut gue!” Alanis pun mengikuti Surya dari belakang sampai pada akhirnya mereka tiba di depan rak ilmu pengetahuan alam. “Ini buku bagus buat lo!” Surya memberikan sebuah buku kecil, kira-kira seukuran saku seragam sekolah, kepada Alanis. Di sampul buku kecil itu tertera judul buku, Rumus Saku Fisika. “Lo nggak perlu bawa buku catatan lo yang besar itu. Lo cuma butuh buku saku ini. Praktis dan mudah dibawa kemana pun.” Alanis mengerling sinis kepada Surya.
          “Lo masih nganggep gue rendah ya?” sergah Alanis.
          “Emang masih.” jawaban Surya mengundang tawa ketus Alanis. “Tinggi lo masih rendah dari gue. Jadi, gue masih nganggep lo rendah.” Surya memegang kepala Alanis, lalu diukurkan ke tubuhnya. Ternyata tinggi Alanis hanya sampai dagu Surya. “Masih tinggian gue kan?” entah apa yang Surya maksudkan. Apakah ia mencoba bercanda dengan Alanis atau apa. Yang Alanis rasa sekarang adalah rasa nyaman. Ketika Surya memegang kepalanya, ketika Surya menatapnya, ketika Surya mencoba bercanda dengannya, Alanis merasakan lonjakan mendadak dari hatinya. Ia terus-terusan menyangkal pada dirinya jika ia mulai menyukai Surya.
          Tanpa diketahui oleh Alanis, ternyata Bisma dan Vera sedang berada di restoran di pusat perbelanjaan yang sama. Vera menceritakan segalanya mengenai Alanis kepada Bisma. Mulai dari perubahan Alanis sampai pelabrakan Alanis terhadap dirinya dan Flora.
          “Sebenarnya dia kenapa sih? Apa yang salah dari dia?” tanya Bisma kesal kepada Vera.
          “Aku nggak tau. Daripada mikirin dia, mending kita bersenang-senang aja, Say.” ajak Vera.
          “Aku takutnya dia tahu tentang perselingkuhan kita.”  tebak Bisma.
          Vera menghela nafas karena kesal. “Yaudah sih, kalau dia tahu juga nggak apa-apa! Toh nanti pada akhirnya dia putus juga dari kamu.”
          “Nggak bisa gitu juga! Alanis masih resmi jadi cewek aku, jadi kalau ada apa-apa sama dia, aku harus bertindak. Ngerti kamu?” bentak Bisma kepada Vera.
          “Kamu apa-apaan sih bentak-bentak aku?” emosi Vera pun ikut melonjak. Ia pun bangkit dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Bisma.
          “Vera, mau kemana?” Bisma pun mengejar Vera.

          “Lo beli buku apaan, Al?” tanya Silla setelah ia, Alanis, dan Surya keluar dari toko buku.
          Dengan malu-malu Alanis menjawab, “Majalah fashion.”
          “Wah, selera lo emang nggak jauh-jauh dari fashion ya?” celetuk Silla.
          “Gue nggak bisa kalau nggak dandan.”
          “Terus beli buku apalagi?” kali ini Alanis benar-benar malu untuk menjawabnya karena ia membeli buku yang tadi disarankan oleh Surya.
          “Buku saku rumus fisika.” Surya pun menahan tawa mendengar jawaban Alanis.
          “Tumben lo beli buku itu.”
          “Habisnya ada orang yang kasih saran ke gue supaya beli buku itu.” ujar Alanis sambil melirik ke arah Surya.
          “Ada-ada aja deh lo!” cetus Silla. “Eh, gue mau ke toilet dulu ya!” Silla meminta izin.
          “Gue juga ikut.” sembur Alanis cepat. Ia tak ingin ditinggal berdua lagi dengan Surya.
          Ternyata kerjaan Alanis ke toilet karena ingin membenarkan dandanannya saja. Beda dengan Silla yang benar-benar butuh ke toilet. Karena toilet penuh, akhirnya Silla terpaksa mengantre lama. Keadaan toilet yang entah mengapa jadi sesak, membuat Alanis terpaksa keluar dan menemui Surya.
          “Ternyata saran gue diikutin juga.” ejek Surya.
          “Gue emang butuh buku itu kok.” balas Alanis.

          “Vera!” Bisma pun menarik lengan Vera yang berusaha menghindar darinya. “Kok kamu marah gitu sih?” bisik Bisma. Ia tak ingin bertengkar di depan umum.
          “Gue nggak suka lo lebih membela Alanis daripada gue di depan gue sendiri.” mata Vera telah tergenang air mata. “Walaupun gue bukan pacar sah lo, tapi lo udah minta gue jadi pacar lo.”
          “Iya, aku ngerti! Aku minta kamu lebih bersabar.” pinta Bisma.
          “Kenapa aku mesti sabar terus sih?” Vera masih mencoba menahan tangisannya.
          “Itu karena…” tiba-tiba Bisma memotong pembicaraannya. Ia melihat ke belakang bahu Vera. Dari kejauhan, ia melihat sosok Alanis sedang berdiri bersama seorang cowok yang sepertinya ia kenal. “Alanis!” pekik Bisma. Vera pun ikut tersontak. Ia membalikan badan dan melihat sosok Alanis juga. “Ngapain dia di sini?”
          Vera menghapus air matanya. “Dia sama siapa?”
          Bisma menyipitkan mata untuk dapat melihat siapa cowok yang sedang bersama Alanis. Pada akhirnya ia tahu siapa cowok tersebut. “Gue tahu itu siapa.” tukas Bisma, lalu berjalan menghampiri Alanis dan meninggalkan Vera.
          “Bisma!” panggilan Vera tak digubris oleh Bisma. Ia pun ikut mengejar Bisma.
          “Alanis!” panggil Bisma. Alanis dan Surya pun kompak menoleh. “Kamu lagi ngapain di sini?” tanya Bisma dengan nafas terengah-engah. Ia lalu mengerling ke arah Surya. “Kamu ngapain sama cowok ini?” seketika itu pula, Silla keluar dari toilet.
          Dari belakang Bisma, muncul Vera dengan nafas yang terengah-engah pula. Alanis menatap Vera. “Sekarang gue tanya, kalian berdua lagi ngapain di sini?” Alanis balas bertanya.
          Bisma dan Vera terdiam mendengar pertanyaan Alanis. “Kita lagi jalan-jalan biasa. Gue nganterin dia karena ponselnya mau dibenarkan di sini.” ujar Bisma berbohong.
          Alanis sudah tak tahan lagi dengan kedok yang dipasang oleh Bisma dan Vera selama ini. Setelah kedok Vera dan Flora terbongkar, akhirnya ia bertekad menuntaskan segalanya, termasuk sampai kepada pengkhianatan Vera dan Bisma. “Kalian pikir gue masih sepolos yang kalian kira? Kalian pikir gue nggak tahu kebusukan kalian berdua di belakang gue?” tukas Alanis lantang. “Sahabat macam apa yang merebut pacar sahabatnya sendiri.” ujar Alanis sinis sambil menatap Vera. “Lalu pacar macam apa yang selingkuh dengan sahabat pacarnya sendiri.” kali ini Alanis menatap Bisma.
          “Seharusnya aku yang bertanya, pacar macam apa yang selingkuh dengan guru les privat-nya sendiri. Hanya berduaan ke mall jika tak ada hubungan khusus.” tuding Bisma kepada Alanis dan Surya.
          “Mereka nggak berdua.” Silla yang selama ini hanya menyaksikan dari belakang, akhirnya muncul. “Kita bertiga ke sini.” Vera pun terdiam mendengar kesaksian Silla.
          Bisma tak tinggal diam. Ia terus mencari kesalahan Alanis. “Pasti lo hanya jadi kamuflase aja! Biar tak ada bukti jika Alanis selingkuh dengan gurunya sendiri.”
          Plaak!
          Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Bisma. Tangan Alanis bergetar begitu selesai menampar Bisma. Air matanya meleleh di pipi. “Kita putus!” ucapnya lirih, lalu pergi meninggalkan Bisma, Vera, Surya, dan Silla sambil menangis.
          “Alanis!” Silla pun mengejar Alanis.
          Tinggallah Surya bersama Vera dan Bisma. Vera pun mencoba merangkul Bisma yang kesakitan akibat tamparan Alanis, namun Bisma menolaknya. Ia lalu menarik kerah seragam Surya. “Puas lo udah ngerusak hubungan orang lain?” tuduh Bisma kepada Surya.
          Surya tetap diam dengan tuduhan Bisma. Dengan santai ia berujar, “Apa lo nggak sadar, siapa yang sudah merusak sebuah hubungan di sini?”
          “Tau apa lo tentang gue?” hardik Bisma. Vera pun tak bisa mencegah dan berbuat apa-apa.
          “Yang gue tangkap dari kejadian tadi adalah lo udah nyakitin hati teman gue. Kalau lo masih coba buat deketin dia lagi, gue nggak akan tinggal diam.” Surya menarik tangan Bisma yang sedari tadi mencengkram kerah seragamnya, lalu ia pergi meninggalkan Bisma dan Vera.
          Di lain tempat, Silla tak dapat mengejar Alanis yang lari sambil menangis. Alanis segera menghentikan sebuah taksi dan pergi dengan alat transportasi itu. Sedangkan Silla hanya bisa menatap kepergian Alanis. Karena tak dapat mengejar Alanis, Silla pun pulang ke rumahnya bersama Surya.
          Sesampainya di rumah, sebelum Silla dan Surya masuk ke rumah, Silla pun mulai berani membahas tentang perkataan Bisma tadi. “Surya, tadi gue dengar kata-kata yang janggal di telinga gue.” ucap Silla.
          “Kata-kata apa?” tanya Surya tidak mengerti.
          “Tadi Bisma berkata kalau Alanis sudah selingkuh sama guru les privatnya. Apa maksud perkataannya itu?” Silla menyipitkan mata seraya menatap saudara kembarnya itu.
          Tak ada jalan lain lagi bagi Surya untuk mengakuinya. “Oke, gue ngaku kalau selama ini gue ngajar les privat untuk Alanis. Sorry, gue nggak pernah cerita ke lo ataupun Ibu dan Bapak karena gue nggak mau Bapak berpikir kalau gue kekurangan uang sehingga harus bekerja tiap akhir pekan.” Surya menjelaskan.
          Silla mengangguk mengerti. “Lantas, apa tujuan lo mencari uang dengan cara menjadi guru les privat? Apa lo emang kekurangan uang jajan?” tanya Silla lagi.
          “Uang yang dikasih oleh Bapak sudah lebih dari cukup. Tujuan utama gue jadi guru les privat karena gue mau membagikan ilmu ke orang yang membutuhkan. Lo tahu kan, semakin kita sering membagikan ilmu kita, semakin menempellah ilmu itu di otak kita.” Silla mengerti akan alasan yang Surya jelaskan.
          “Lalu, apa lo masih akan merahasiakan pekerjaan lo ini dari Bapak dan Ibu?”
          “Biarkan mereka nggak tahu karena toh selama ini gue nggak pernah bohong mengenai les privat ini.”
          Silla mengerutkan kening. “Nggak pernah bohong apanya? Setiap hari Minggu lo selalu izin ke Ibu dan Bapak dengan alasan mau belajar bersama teman tapi pada kenyatannya lo malah mengajar les.” Silla membantah. Belum sempat Surya mengeluarkan pendapatnya lagi, tiba-tiba Silla mengangguk, lalu tersenyum. Sepertinya ia baru sadar akan sesuatu. “Oke, gue ngerti! Gue kalah sekarang.” ujarnya seraya berjalan memasuki rumah.
          “Pada intinya mengajar les sama aja kayak belajar lagi bukan?” tambah Surya.
          “Iya, gue tahu!”