Hari Minggu ini, matahari
bersinar sangat terik sehingga menimbulkan fatamorgana di jalanan aspal yang
gersang. Namun untungnya, angin membagi tiupannya sehingga manusia yang hidup
di kota Jakarta tak begitu kepanasan. Suhu yang hampir menyentuh 37 derajat
celcius tak menghalangi Surya untuk datang ke rumah Alanis dan memberikan les
privat.
Tapi suhu panas ini sangat berpengaruh bagi Alanis. Rasanya
ia ingin pergi ke salon untuk merelaksasikan dirinya yang telah berperang
dengan pelajaran selama seminggu ini. Belum lagi ditambah ocehan Surya jika ia
tidak bisa menjawab soal yang diberikan padanya atau lupa akan rumus yang telah
Surya berikan padanya untuk dihapalkan.
“Rumus soal ini udah gue kasih minggu kemarin.” inilah
ocehan Surya sedari tadi kepada Alanis.
“Tapi gue baru ngelihat soal kayak gini. Kalau rumus ini
udah dikasih minggu kemarin, berarti contoh soalnya juga udah dikasih minggu
kemarin dong? Tapi,” Alanis membuka-buka buku catatannya. “nggak ada soal yang
setipe kayak gini.”
“Minggu kemarin lo udah nyerah buat ngerjain soal, jadi
untuk contoh soal dari rumus ini, baru gue kasih hari ini.” Surya mengingatkan.
“Apa lo nggak ingat, lo udah hampir menangis minggu kemarin pas gue mau kasih
lo satu soal lagi?” kepala Alanis menengadah, lalu mencoba mengingat-ingat.
Sebenarnya Alanis ingat akan insiden itu tapi ia terlalu malu untuk
mengakui-nya.
“Iya deh, gue kerjain!” untuk menutup kasus ini, Alanis pun
langsung berkutat dengan soal yang satu ini.
Diam-diam Surya memperhatikan Alanis ketika Alanis sedang
mengerjakan soal. Raut wajah kebingungan terlukis di wajah Alanis yang berkulit
putih itu. Matanya cemerlang, rambut panjangnya dibiarkan tergerai di
punggungnya. Angin yang bertiup saat itu tak jarang membuat rambut Alanis
terbang dan menutupi matanya. Alanis pun agak terganggu, lalu menyingkirkan
rambut yang tadi menutupi wajahnya.
“Ikat rambut lo!” suruh Surya. Alanis menyadari jika Surya
berbicara padanya, namun ia berpura-pura tak tahu. “Kalau ada angin lagi, nanti
lo nggak konsen ngerjain soalnya. Rambut panjang lo itu dari tadi mengganggu.”
Alanis memberanikan menatap Surya.
“Ngomong sama gue?” tanyanya ragu-ragu.
Surya tersenyum sinis. “Ada ikat rambut di situ. Kenapa
nggak digunain?” mata Surya tertuju pada ikat rambut warna merah yang
tergeletak di meja, di sebelah buku catatan Alanis.
Alanis menjalin rambutnya ke belakang dan mengikat
rambutnya dengan model buntut kuda. “Udah, Pak Guru!” Alanis kembali
mengerjakan soal.
Hari ini, Alanis tak hanya belajar fisika tetapi belajar biologi
dan kimia juga. Tepat jam lima sore, otak Alanis seperti pie yang habis
dipanggang dari dalam oven dan telah matang. Otaknya penuh rumus fisika dan
kimia, lalu materi biologi. Dunia serasa miring.
“Minggu depan saatnya matematika. Jadi lo siapin buku
matematika yang lo punya dari sekolah lo.” suruh Surya sebelum pulang.
Alanis mengantarkan Surya hingga depan rumah. “Iya, gue
ngerti, Pak Guru!” balas Alanis.
“Oh ya, ibu lo mana? Gue mau pamit.”
“Kayaknya lagi pergi sama bokap.”
“Yaudah, salam aja buat orangtua lo!” Alanis menangguk
mengerti.
“Oh ya, keadaan Silla gimana?” dari tadi Alanis ingin
menanyai hal itu namun selalu lupa. “Udah tiga hari dia nggak masuk sekolah.”
Surya mengenakan jaket hitam, lalu mengambil masker yang akan
ia gunakan untuk menutupi hidung dan mulutnya dari polusi jalan raya. “Sudah
mendingan. Paling besok dia udah bisa masuk sekolah.” Surya menjelaskan.
Alanis mengangguk mengerti. “Salam aja buat keluarga lo di
rumah.”
“Iya.”
Belum sempat Surya pergi, tiba-tiba sebuah mobil berhenti
di depan pagar rumah Alanis. Mobil itu sangat dikenal oleh Alanis. Lalu seorang
pemuda turun dari mobil tersebut dan menghampiri Alanis.
“Hallo, Sayang!” Bisma merangkul pinggang Alanis, lalu
mengecup pipi kiri Alanis. Kejadian itu benar-benar terjadi di depan mata Surya.
Alanis terkejut akan kelakukan Bisma barusan. Setelah itu, ia melirik ke arah
Surya sambil memamerkan senyuman kemenangannya.
“Apa-apaan sih?” Alanis agak marah karena kelakukan Bisma
yang tak sopan seperti itu.
“Loh, biasanya juga kamu nggak marah.” jawab Bisma sembari
mengerling ke arah Surya lagi. Alanis pun ikut mengerling ke arah Surya.
Ekspresi wajahnya seolah-olah berkata kepada Surya, ‘Itu nggak benar. Cowok inilah yang udah nyakitin hati gue. Dia cowok
pengkhianat.’.
Surya yang sedari tadi diam pun akhirnya berkata. “Gue
pamit pulang dulu.” ujar Surya kepada Alanis, lalu memakai masker.
“Hei, tunggu dulu, boy!”
cegah Bisma. “Kita belum berkenalan. Lo siapa ya?” nada suara Bisma sengaja ditinggikan
karena ia ingin tahu siapa pemuda ini dan ada hubungan apa dengan Alanis.
“Udah deh, dia mau pulang.” Alanis memecahkan cegahan Bisma
kepada Surya.
“Kamu,” Bisma berucap sambil menatap Alanis. “nggak
selingkuh dari aku kan?” mata Alanis terbelalak. Ingin sekali ia berteriak di
depan wajah Bisma, ‘Apa di rumah lo nggak
punya kaca??? Sekarang siapa sih yang selingkuh???’.
“Nggak usah berkata yang macam-macam!” sergah Alanis kepada
Bisma. “Surya, lo boleh pulang.” setelah mengenakan helm, Surya pun menyalakan
mesin motornya.
“Oh, jadi namanya Surya? Bagus juga namanya. Seperti
matahari.” entah apa maksud Bisma berkata seperti itu. Sebagian besar mungkin
ia mengejek. Surya tak menghiraukan berkataan Bisma, lalu segera pergi dari
rumah Alanis. “Sampai jumpa, Surya.” Bisma melambaikan tangannya kepada Surya
sambil menyeringai menyebalkan. Setelah Surya pergi, Alanis segera masuk ke
rumah tanpa menghiraukan keberadaan Bisma. “Loh, sayang,” Bisma mengejar Alanis
yang masuk ke rumah. “kok kamu nggak senang aku di sini?”
Alanis menghela nafas. “Ngapain kamu ke sini?” tanyanya
setengah malas.
“Aku telepon nggak diangkat. Aku SMS nggak dibalas. Kamu
kemana aja hari ini?” ketika les sedang berlangsung, Alanis sengaja
meninggalkan ponselnya di kamar agar konsentrasinya tak terganggu. Jadi ia tak
tahu jika ada telepon dan SMS masuk.
“Aku lagi sibuk les.” jawab Alanis singkat.
“Jadi yang tadi itu guru les lo?” Bisma menunjuk keluar
rumah.
“Iya.” balas Alanis. “Hari ini aku capek. Kamu bisa pulang
nggak? Aku mau istirahat.” pinta Alanis. Bisma pun dapat melihat raut capek
dari wajah Alanis sehingga ia mengalah.
“Oke, kalau itu mau kamu. Aku pulang dulu ya!” Bisma
mencoba mencium pipi Alanis lagi namun kali ini Alanis menghindar.
Ternyata perkataan Surya
benar. Keesokan harinya, Silla sudah masuk sekolah. Walaupun wajahnya masih
pucat, Silla tetap bersemangat pergi ke sekolah. Alanis yang mendapati Silla
telah masuk sekolah kembali, begitu sangat senang.
“Lo udah sehat, Sil?” tanya Alanis kepada Silla.
“Alhamdulillah, sudah mendingan.” jawab Silla. “Oh ya,”
Silla berkata namun secara terbata-bata. “untuk jeruk yang kemarin,” Silla
terdiam. “makasih ya!” Alanis tersenyum, lalu menangguk.
“Sama-sama.” balas Alanis riang.
“Maaf pas lo datang gue lagi tidur.”
“Nggak apa-apa kok! Yang penting sekarang lo udah sehat.”
Silla mendadak merasakan ketulusan hati dari sorot mata dan senyuman Alanis. Ia
pun merasa sangat bersalah tempo hari, dimana ia mengatai Alanis sebagai Gadis
Oplas.
“Makasih ya sekali lagi!” cetus Silla lalu ikut tersenyum.
Hampir setengah tahun Alanis sekelas dengan Silla, ia tak pernah melihat Silla
tersenyum padanya seperti ini. Biasanya, ia hanya mendapatkan hadikan ataupun
bentakan, seperti yang ia dapatkan dari Surya. Baru kali ini Alanis percaya
jika Silla dan Surya adalah saudara kembar karena sifat mereka yang disiplin
tertanam pada diri masing-masing.
Kedekatan Silla dan Alanis memang mengundang banyak pertanyaan,
terutama dari Flora dan Vera. Kedua teman dekat Alanis itu sepertinya telah
tersingkir secara perlahan dari hidup pertemanan Alanis. Setiap istirahat tiba,
Alanis tak pernah ke kantin bersama mereka lagi. Ia memilih membawa bekal dari
rumah, lalu makan di kelas bersama Silla. Setiap les bimbel juga. Alanis lebih
memilih duduk di sebelah Silla dibandingkan duduk di sebelah Flora dan Vera.
Ternyata kejanggalan ini tak hanya menimpa Flora dan Vera.
Bisma pun merasakan hal yang sama akan perubahan dalam diri Alanis. Bisma
jarang lagi mengantarkan Alanis pulang karena Alanis selalu menolaknya. Alasan
Alanis cukup standar. Ia ingin pergi ke toko buku atau ingin belajar bersama
Silla. Pada malam minggu ataupun hari libur pun mereka jarang bersama. Alanis
beralasan ia ingin konsentrasi belajar dulu.
Kejanggalan demi kejanggalan terus terjadi. Contohnya hari
ini, ketika pelajaran fisika dimulai. Ibu Henna, guru fisika yang mengajar di
kelas Alanis, memberikan soal-soal fisika. Jika ada yang bisa, diharapkan murid
tersebut dapat menulis jawabannya di papan tulis.
“Ada yang mau mengerjakan soal nomor satu?” tanya Ibu Henna
kepada seisi kelas. Dengan sigap, Alanis mengacungkan tangannya. Vera dan Flora
yang melihat kejadian ini pun langsung terperangah. “Silakan maju, Alanis!”
Alanis menunjukan langkah percaya diri menuju papan tulis. Ia pun mulai menulis
jawabannya. “Lalu nomor dua?” kali ini Silla yang bersedia. Sebelum mengerjakan
soal di papan tulis, Silla melirik Alanis terlebih dahulu. Alanis yang
menyadari lirikan Silla pun membalas lirikan Silla lalu tersenyum.
Setelah menjawab soal, Silla dan Alanis pun kembali ke
bangku masing-masing. Kini giliran Ibu Henna yang mengoreksi jawaban mereka
berdua. Tanpa diduga, kedua jawaban itu benar. “Ya, jawabannya Alanis maupun
Silla benar!” lalu Ibu Henna menerangkan teori dan sebabnya kepada seisi kelas.
Diam-diam Alanis bangga akan dirinya. Ia menatap Vera dari
belakang. “Sekarang lo bakal liat Alanis yang baru, Vera. Gue nggak bakal bisa
lo bohongin terus-terusan.”
Ternyata perubahan dalam diri Alanis tak dibiarkan begitu
saja oleh Vera dan Flora. Mereka berdua akan menginterograsi Silla. Sepulang
sekolah, Silla mampir ke toilet sebentar. Momen ini tak disia-siakan oleh Vera
dan Flora. Kebetulan toilet sedang sepi, Vera dan Flora pun langsung
menginterograsi Silla.
“Silla Paramitha!” panggil Vera sinis. Silla yang sedang
mencuci tangan di wastafel pun
menatap Vera dari balik cermin. Ia pun membalikan badannya.
“Ada apa ya?” tanya Silla tenang.
“Pura-pura polos dia.” celetuk Flora. “Gue mau nanya, pelet
apa yang lo tempelkan kepada Alanis sehingga ia begitu nurut dan deket sama
lo?” Silla menyeringai.
“Kalau mau bertanya, yang jelas.” suruh Silla. Ia tetap
tenang karena ia tak ingin terbawa emosi juga.
“Apa tujuan lo deketin Alanis?” kali ini tak
tanggung-tanggung, Vera mendorong Silla ke dinding. “Lo mau ngincer uangnya
doang kan? Lo tahu kalau Alanis dapat diperalat kan sehingga lo mau berteman
dengannya?”
Silla menatap Flora dan Vera secara bergantian. “Kenapa lo
bisa berpendapat kalau gue berteman sama Alanis karena mengincar uangnya? Dan
kenapa kalian berpendapat kalau gue tahu jika Alanis dapat diperalat?” Silla
berargumen. “Apa selama ini kalian berteman dengan Alanis karena mengincar uangnya?
Atau karena Alanis dapat diperalat oleh kalian?” Silla terlalu pintar untuk
dikalahkan oleh Flora dan Vera. Mereka berdua pun langsung diam seribu bahasa.
Tanpa diduga, Alanis menyerbu masuk. “Heh, apa-apaan ini?”
gertaknya setengah berteriak. Ia berjalan menghampiri ketiga gadis itu, lalu
berdiri di sebelah Silla. “Ada apa ini?” tanya Alanis kepada Flora dan Vera.
Flora dan Vera saling berpandangan penuh kebingungan.
Akhirnya Vera-lah yang mem-beranikan menjawab. “Gue heran sama perubahan lo,
Al. Kita heran kenapa lo dekat banget sama Silla? Gue curiga jangan-jangan
dia,” ujar Vera sembari melirik Silla sinis. “berteman sama lo dengan tujuan
nggak baik. Jangan-jangan tujuan dia cuma manfaatin uang lo doang!”
“Lo tau kan, dia itu dari keluarga nggak mampu. Jadi, kita
berdua khawatir dia itu matre.” Flora menambahkan.
“Emang lo dari keluarga nggak mampu, Sil?” tanya Alanis
sambil menengok ke arah Silla. Belum sempat Silla menjawab, Alanis berkata
lagi. “Menurut gue, dia dari keluarga mampu kok. Dia masih bisa sekolah, dia
punya rumah, dia punya pakaian, dan dia juga masih bisa berobat pas sakit.”
bantah Alanis. “Oh ya, tadi kalian bertanya apa tujuan Silla berteman sama gue?
Sekarang gue mau tanya, apa tujuan kalian berteman sama gue?” Flora dan Vera benar-benar
ciut. Mereka sudah kalah argumen. Tak ada sisa bantahan lagi. “Ngomong karena
uang aja susah banget.” sindir Alanis.
“M…maksud lo apa sih, Al?” ujar Vera terbata-bata.
“Lo nuduh kita berteman sama lo hanya karena uang?” Flora
terlihat sudah mau nangis. “Gue sama Vera dari keluarga mampu, Al. Kita berdua
mampu beli barang-barang apapun di mall atau butik. Jadi, mana mungkin orang
sekaya kita itu matre?” bantah Flora.
“Ah, kata siapa?” celetuk Alanis. “Jika ada yang bisa
dimanfaati, mau orang kaya atau miskin, bisa jadi matre. Oh tunggu dulu, kalian
itu bukan matre tapi…” bola mata Alanis berputar menatap langit-langit toilet,
lalu setelahnya kembali menatap Flora dan Vera secara bergantian. “terlalu
irit.” Alanis menyilangkan kedua tangannya di dada. “Terlalu irit sama aja
pelit nggak sih, Sil?” kali ini Alanis bertanya kepada Silla. Silla tak
menjawab dengan perkataan tapi dengan tawa yang tertahan. “Tuh, Silla aja
setuju. Tapi menurut gue, lebih berbobot orang miskin yang matre daripada orang
kaya yang matre karena untuk apa sih orang kaya matre?” skor 3-0 untuk
kemenangan Alanis. Flora dan Vera telah kalah tiga kali. Mulai dari pertanyaan
Alanis tentang tujuan Flora dan Vera berteman dengannya, penyanggahan pendapat
dari Alanis mengenai tuduhan Flora terhadap Silla jika Silla adalah anak tak
mampu, serta kecaman keras Alanis mengenai lebih berbobot orang miskin yang
matre daripada orang kaya yang matre. “Jangan membanggakan uang! Karena suatu
saat, uang hanya dapat membuat orang dibodohi oleh orang lain.” Alanis
mencontoh perkataan Surya tempo hari yang sangat menohok. Skor bertambah
menjadi 4-0 untuk Alanis. “Kayaknya kita udah menghabiskan waktu dengan percuma
deh, Sil.” Alanis melirik jam tangan yang bertengger di tangan kirinya. “Pulang
yuk!” ajak Alanis. Sebelum Flora dan Vera membantah lagi, Alanis dan Silla pun
keluar dari toilet terlebih dahulu, meninggalkan Flora dan Vera yang masih
setengah hidup dan setengah sadar.
Sepanjang perjalanan dari toilet hingga di depan pintu
gerbang sekolah, Silla hanya bisa diam sambil melirik ke arah Alanis dan
mengagumi argumen Alanis di toilet tadi. Alanis pun menyadari jika sedari tadi
Silla meliriknya terus.
“Ada apa sih, Sil? Dari tadi lo ngeliatin gue terus.” tebak
Alanis.
“Gue Cuma heran. Dari mana lo dapat kata-kata bagus yang
tadi?” tanya Silla heran. Alanis berpikir. Ia lupa telah mengatakan apa tadi.
“Kata-kata bagus yang mana ya?”
“Yang ada kalimat ‘Jangan membanggakan uang!’ itu loh.
Keren deh kata-katanya.” puji Silla. Alanis tidak dapat memberitahu Silla dari
mana ia mendapatkan kata-kata seperti itu karena kata-kata itu Alanis dapat
dari Surya.
“Dari novel.” ucap Alanis berbohong. “Oh ya, lo mau langsung
pulang?” tanya Alanis mengalihkan pembicaraan. Mereka pun telah sampai di halte
bus.
“Gue mau ke toko buku dulu. Kebetulan gue udah janjian sama
orang di sana.” jawab Silla.
“Toko buku?” mata Alanis mendadak berbinar-binar. Dulu mata
Alanis berbinar-binar jika ia ingin pergi ke mall atau butik. “Gue juga mau
beli buku. Boleh gue ikutan?” pinta Alanis penuh permohonan. Tak ada pilihan
lain lagi bagi Silla selain mengizinkan Alanis ikut dengannya.
Mereka pergi ke toko buku yang terletak di dalam sebuah
pusat perbelanjaan di Jakarta. Karena Alanis mengikuti Silla, tak ada alasan
lain lagi bagi Alanis untuk menolak ketika Silla mengajaknya naik metromini
menuju pusat perbelanjaan yang mereka tuju. Selama tujuh belas tahun Alanis
tinggal di Jakarta, baru kali ini ia merasakan naik metromini. Biasanya, ia
diantar oleh supir atau naik taksi. Makanya ia begitu terkejut tak berdaya
ketika naik metromini.
Sesampainya di pusat perbelanjaan, Alanis mampir dahulu ke
toilet. Ia mencuci muka dahulu dengan facial
foam-nya, lalu menaburkan bedak kepada wajahnya dan terakhir ia
me-nyemprotkan parfum ke seragam sekolahnya. Rambutnya ia sisir, lalu ia ikat
buntut kuda karena ia malu untuk menggerai rambut panjangnya akibat rambutnya
telah bau polusi Jakarta. Silla yang melihat kerepotan Alanis pun hanya
menggelengkan kepala saking herannya.
“Kenapa lo naik metromini sih? Kenapa nggak naik taksi
aja?” bentak Alanis kesal kepada Silla ketika mereka keluar dari toilet.
“Ongkos taksi sepuluh kali lipat dibandingkan naik
metromini. Gue nggak punya uang untuk ngebayarnya.” balas Silla.
“Gue bisa bayarin ongkos taksi, Sil. Jadi lo nggak usah
ngajak gue naik metromini.” sergah Alanis.
“Gue nggak mau dicap matre seperti yang teman-teman lo
kira. Lagian kalau lo mau naik taksi, seharusnya lo sendirian aja pergi ke
sininya. Nggak usah bareng sama gue.” sarannya.
“Oke, oke, gue emang selalu kalah kalau debat sama lo!”
Alanis pun menyudahi keluhan-nya. “Terus, lo janjian sama siapa di toko buku?”
tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Sama anggota keluarga gue.” jawab Silla, lalu mereka naik lift ke lantai 3.
“Oh, sama anggota…” Alanis baru sadar. Anggota keluarga
Silla? Siapa itu? Apakah yang Silla maksud adalah…
“Saudara kembar gue. Lo pasti udah pernah ketemu dia kan?
Kalau nggak salah, pas itu lo dianterin dia sampai jalan raya kan?” hati Alanis
melonjak secara mendadak. Ia akan bertemu Surya hari ini. Inilah kali kedua ia
bertemu Surya diluar jam les privat.
“Oh…S…Surya ya?” Alanis berpura-pura tidak mengenal Surya.
“Tenang aja, dia nggak keberatan kok kalau gue ngajak
teman.” Silla mencoba menenang-kan Alanis yang diam-diam sedang galau berat.
Mereka pun sampai di lantai tiga. Setelah menitipkan tas di
penitipan barang di toko buku, Alanis dan Silla pun mencari Surya. “Mana ya tuh
orang?” Silla pun mencari-cari saudara kembarnya itu. Mata Alanis pun ikut
menyapu, mencari keberadaan Surya. Sampai pada akhirnya, Silla memekik, “Oh,
itu dia!” Silla menunjuk ke seorang pemuda. Hati Alanis benar-benar terlonjak.
Suhu toko buku yang dingin karena pendingin ruangan mendadak memanaskan suhu
tubuhnya. Tangannya berkeringat. Entah mengapa jantungnya berdegup kencang.
Begitu Surya membalikan badannya, tatapannya langsung
bertabrakan dengan tatapan Alanis. Sebenarnya Surya kaget total namun ia dapat
menyembunyikan keterkejutannya di depan saudara kembarnya. “Udah sampai lo?”
pandangan Surya pun tertuju pada Silla.
“Maaf gue telat.” ucap Silla. “Oh ya, gue bawa teman! Pasti
kalian udah kenal kan?” tanya Silla sambil melihat Surya dan Alanis secara
bergantian. Surya dan Alanis pun mengangguk ragu. “Tapi kayaknya belum ada
perkenalan secara formal deh! Surya, ini Alanis, teman sekelas gue. Alanis, ini
Surya, saudara kembar gue.” hampir lima detik tak satupun dari Surya ataupun
Alanis mau mengulurkan tangan lebih dulu.
“Gue udah pernah kenalan sama dia, Sil. Lo aja yang nggak
tau.” ujar Surya. Alanis menyipitkan matanya menatap Surya. Sejak pertama kali
ia berkenalan dengan Surya, hingga sekarang ini, tak pernah ada jabat tangan
sebagai tanda perkenalan.
“Oh gitu toh? Bagus deh!” cetus Silla. “Eh, gue mau nyari
buku dulu ya! Alanis, gue tinggal dulu.” belum sempat Alanis mengiyakan, Silla
sudah pergi terlebih dahulu. Dan pada akhirnya, tinggallah Alanis berdua
bersama Surya.
“Lo belum ngaku juga ke keluarga lo kalau lo itu guru les
gue?” tanya Alanis.
“Gue nggak mau ngaku, bukannya belum ngaku.” jawab Surya,
lalu ia mencari-cari buku di rak depan dia.
“Kenapa?” Alanis ingin tahu.
Surya mengambil sebuah buku yang tak tersegel oleh plastik.
“Karena gue nggak mau dibilang anak yang nggak bersyukur.” Surya mulai
membuka-buka buku dan membacanya.
“Bersyukur apa sih maksud lo?” Surya tak meladeni
pertanyaan Alanis sehingga akhirnya Alanis merebut buku yang sedang Surya baca.
“Apaan sih?” Surya merasa kesal karena diganggu ketika
sedang membaca buku.
“Jawab dulu pertanyaan gue!” suruh Alanis.
“Itu bukan urusan lo!” balas Surya. “Mau tau aja sih urusan
orang lain!” Surya mencoba merebut buku itu tetapi Alanis mencegahnya terus.
“Urusan lo jadi urusan gue juga. Tinggal bilang alasannya
aja kok susah banget!”
Surya tersenyum sinis. “Sejak kapan urusan gue jadi urusan
lo? Emang gue itu cowok lo?” Alanis terdiam mendengar perkataan Surya.
“M…maksud gue, sampai kapan kita berpura-pura nggak kenal
kayak gini di depan Silla? Gue nggak enakan sama dia kalau suatu saat dia tahu
yang sebenarnya.” Alanis beralasan.
Surya berjalan mendekati Alanis sehingga membuat Alanis
mundur beberapa langkah. “Silla akan mengerti.” kali ini, buku yang tadi
diambil oleh Alanis berhasil direbut kembali oleh Surya. “Oh ya,” Surya tidak
jadi lagi membaca buku. “gue punya buku bagus buat lo.” Alanis terkejut. Buku
apa? Sejak kapan Surya tahu selera baca Alanis? “Ikut gue!” Alanis pun
mengikuti Surya dari belakang sampai pada akhirnya mereka tiba di depan rak
ilmu pengetahuan alam. “Ini buku bagus buat lo!” Surya memberikan sebuah buku
kecil, kira-kira seukuran saku seragam sekolah, kepada Alanis. Di sampul buku
kecil itu tertera judul buku, Rumus Saku
Fisika. “Lo nggak perlu bawa buku catatan lo yang besar itu. Lo cuma butuh
buku saku ini. Praktis dan mudah dibawa kemana pun.” Alanis mengerling sinis
kepada Surya.
“Lo masih nganggep gue rendah ya?” sergah Alanis.
“Emang masih.” jawaban Surya mengundang tawa ketus Alanis.
“Tinggi lo masih rendah dari gue. Jadi, gue masih nganggep lo rendah.” Surya
memegang kepala Alanis, lalu diukurkan ke tubuhnya. Ternyata tinggi Alanis
hanya sampai dagu Surya. “Masih tinggian gue kan?” entah apa yang Surya
maksudkan. Apakah ia mencoba bercanda dengan Alanis atau apa. Yang Alanis rasa
sekarang adalah rasa nyaman. Ketika Surya memegang kepalanya, ketika Surya
menatapnya, ketika Surya mencoba bercanda dengannya, Alanis merasakan lonjakan
mendadak dari hatinya. Ia terus-terusan menyangkal pada dirinya jika ia mulai
menyukai Surya.
Tanpa diketahui oleh Alanis, ternyata Bisma dan Vera sedang
berada di restoran di pusat perbelanjaan yang sama. Vera menceritakan segalanya
mengenai Alanis kepada Bisma. Mulai dari perubahan Alanis sampai pelabrakan
Alanis terhadap dirinya dan Flora.
“Sebenarnya dia kenapa sih? Apa yang salah dari dia?” tanya
Bisma kesal kepada Vera.
“Aku nggak tau. Daripada mikirin dia, mending kita
bersenang-senang aja, Say.” ajak Vera.
“Aku takutnya dia tahu tentang perselingkuhan kita.” tebak Bisma.
Vera menghela nafas karena kesal. “Yaudah sih, kalau dia
tahu juga nggak apa-apa! Toh nanti pada akhirnya dia putus juga dari kamu.”
“Nggak bisa gitu juga! Alanis masih resmi jadi cewek aku,
jadi kalau ada apa-apa sama dia, aku harus bertindak. Ngerti kamu?” bentak
Bisma kepada Vera.
“Kamu apa-apaan sih bentak-bentak aku?” emosi Vera pun ikut
melonjak. Ia pun bangkit dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Bisma.
“Vera, mau kemana?” Bisma pun mengejar Vera.
“Lo beli buku apaan, Al?” tanya Silla setelah ia, Alanis,
dan Surya keluar dari toko buku.
Dengan malu-malu Alanis menjawab, “Majalah fashion.”
“Wah, selera lo emang nggak jauh-jauh dari fashion ya?” celetuk Silla.
“Gue nggak bisa kalau nggak dandan.”
“Terus beli buku apalagi?” kali ini Alanis benar-benar malu
untuk menjawabnya karena ia membeli buku yang tadi disarankan oleh Surya.
“Buku saku rumus fisika.” Surya pun menahan tawa mendengar
jawaban Alanis.
“Tumben lo beli buku itu.”
“Habisnya ada orang yang kasih saran ke gue supaya beli
buku itu.” ujar Alanis sambil melirik ke arah Surya.
“Ada-ada aja deh lo!” cetus Silla. “Eh, gue mau ke toilet
dulu ya!” Silla meminta izin.
“Gue juga ikut.” sembur Alanis cepat. Ia tak ingin
ditinggal berdua lagi dengan Surya.
Ternyata kerjaan Alanis ke toilet karena ingin membenarkan
dandanannya saja. Beda dengan Silla yang benar-benar butuh ke toilet. Karena
toilet penuh, akhirnya Silla terpaksa mengantre lama. Keadaan toilet yang entah
mengapa jadi sesak, membuat Alanis terpaksa keluar dan menemui Surya.
“Ternyata saran gue diikutin juga.” ejek Surya.
“Gue emang butuh buku itu kok.” balas Alanis.
“Vera!” Bisma pun menarik lengan Vera yang berusaha
menghindar darinya. “Kok kamu marah gitu sih?” bisik Bisma. Ia tak ingin
bertengkar di depan umum.
“Gue nggak suka lo lebih membela Alanis daripada gue di
depan gue sendiri.” mata Vera telah tergenang air mata. “Walaupun gue bukan
pacar sah lo, tapi lo udah minta gue jadi pacar lo.”
“Iya, aku ngerti! Aku minta kamu lebih bersabar.” pinta
Bisma.
“Kenapa aku mesti sabar terus sih?” Vera masih mencoba
menahan tangisannya.
“Itu karena…” tiba-tiba Bisma memotong pembicaraannya. Ia
melihat ke belakang bahu Vera. Dari kejauhan, ia melihat sosok Alanis sedang
berdiri bersama seorang cowok yang sepertinya ia kenal. “Alanis!” pekik Bisma.
Vera pun ikut tersontak. Ia membalikan badan dan melihat sosok Alanis juga.
“Ngapain dia di sini?”
Vera menghapus air matanya. “Dia sama siapa?”
Bisma menyipitkan mata untuk dapat melihat siapa cowok yang
sedang bersama Alanis. Pada akhirnya ia tahu siapa cowok tersebut. “Gue tahu
itu siapa.” tukas Bisma, lalu berjalan menghampiri Alanis dan meninggalkan
Vera.
“Bisma!” panggilan Vera tak digubris oleh Bisma. Ia pun
ikut mengejar Bisma.
“Alanis!” panggil Bisma. Alanis dan Surya pun kompak
menoleh. “Kamu lagi ngapain di sini?” tanya Bisma dengan nafas terengah-engah.
Ia lalu mengerling ke arah Surya. “Kamu ngapain sama cowok ini?” seketika itu
pula, Silla keluar dari toilet.
Dari belakang Bisma, muncul Vera dengan nafas yang terengah-engah
pula. Alanis menatap Vera. “Sekarang gue tanya, kalian berdua lagi ngapain di
sini?” Alanis balas bertanya.
Bisma dan Vera terdiam mendengar pertanyaan Alanis. “Kita
lagi jalan-jalan biasa. Gue nganterin dia karena ponselnya mau dibenarkan di
sini.” ujar Bisma berbohong.
Alanis sudah tak tahan lagi dengan kedok yang dipasang oleh
Bisma dan Vera selama ini. Setelah kedok Vera dan Flora terbongkar, akhirnya ia
bertekad menuntaskan segalanya, termasuk sampai kepada pengkhianatan Vera dan
Bisma. “Kalian pikir gue masih sepolos yang kalian kira? Kalian pikir gue nggak
tahu kebusukan kalian berdua di belakang gue?” tukas Alanis lantang. “Sahabat
macam apa yang merebut pacar sahabatnya sendiri.” ujar Alanis sinis sambil
menatap Vera. “Lalu pacar macam apa yang selingkuh dengan sahabat pacarnya
sendiri.” kali ini Alanis menatap Bisma.
“Seharusnya aku yang bertanya, pacar macam apa yang
selingkuh dengan guru les privat-nya sendiri. Hanya berduaan ke mall jika tak
ada hubungan khusus.” tuding Bisma kepada Alanis dan Surya.
“Mereka nggak berdua.” Silla yang selama ini hanya
menyaksikan dari belakang, akhirnya muncul. “Kita bertiga ke sini.” Vera pun
terdiam mendengar kesaksian Silla.
Bisma tak tinggal diam. Ia terus mencari kesalahan Alanis.
“Pasti lo hanya jadi kamuflase aja! Biar tak ada bukti jika Alanis selingkuh
dengan gurunya sendiri.”
Plaak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Bisma. Tangan
Alanis bergetar begitu selesai menampar Bisma. Air matanya meleleh di pipi.
“Kita putus!” ucapnya lirih, lalu pergi meninggalkan Bisma, Vera, Surya, dan
Silla sambil menangis.
“Alanis!” Silla pun mengejar Alanis.
Tinggallah Surya bersama Vera dan Bisma. Vera pun mencoba
merangkul Bisma yang kesakitan akibat tamparan Alanis, namun Bisma menolaknya.
Ia lalu menarik kerah seragam Surya. “Puas lo udah ngerusak hubungan orang
lain?” tuduh Bisma kepada Surya.
Surya tetap diam dengan tuduhan Bisma. Dengan santai ia
berujar, “Apa lo nggak sadar, siapa yang sudah merusak sebuah hubungan di
sini?”
“Tau apa lo tentang gue?” hardik Bisma. Vera pun tak bisa
mencegah dan berbuat apa-apa.
“Yang gue tangkap dari kejadian tadi adalah lo udah
nyakitin hati teman gue. Kalau lo masih coba buat deketin dia lagi, gue nggak
akan tinggal diam.” Surya menarik tangan Bisma yang sedari tadi mencengkram
kerah seragamnya, lalu ia pergi meninggalkan Bisma dan Vera.
Di lain tempat, Silla tak dapat mengejar Alanis yang lari
sambil menangis. Alanis segera menghentikan sebuah taksi dan pergi dengan alat
transportasi itu. Sedangkan Silla hanya bisa menatap kepergian Alanis. Karena
tak dapat mengejar Alanis, Silla pun pulang ke rumahnya bersama Surya.
Sesampainya di rumah, sebelum Silla dan Surya masuk ke
rumah, Silla pun mulai berani membahas tentang perkataan Bisma tadi. “Surya,
tadi gue dengar kata-kata yang janggal di telinga gue.” ucap Silla.
“Kata-kata apa?” tanya Surya tidak mengerti.
“Tadi Bisma berkata kalau Alanis sudah selingkuh sama guru
les privatnya. Apa maksud perkataannya itu?” Silla menyipitkan mata seraya
menatap saudara kembarnya itu.
Tak ada jalan lain lagi bagi Surya untuk mengakuinya. “Oke,
gue ngaku kalau selama ini gue ngajar les privat untuk Alanis. Sorry, gue nggak pernah cerita ke lo
ataupun Ibu dan Bapak karena gue nggak mau Bapak berpikir kalau gue kekurangan
uang sehingga harus bekerja tiap akhir pekan.” Surya menjelaskan.
Silla mengangguk mengerti. “Lantas, apa tujuan lo mencari
uang dengan cara menjadi guru les privat? Apa lo emang kekurangan uang jajan?”
tanya Silla lagi.
“Uang yang dikasih oleh Bapak sudah lebih dari cukup.
Tujuan utama gue jadi guru les privat karena gue mau membagikan ilmu ke orang
yang membutuhkan. Lo tahu kan, semakin kita sering membagikan ilmu kita,
semakin menempellah ilmu itu di otak kita.” Silla mengerti akan alasan yang Surya
jelaskan.
“Lalu, apa lo masih akan merahasiakan pekerjaan lo ini dari
Bapak dan Ibu?”
“Biarkan mereka nggak tahu karena toh selama ini gue nggak
pernah bohong mengenai les privat ini.”
Silla mengerutkan kening. “Nggak pernah bohong apanya?
Setiap hari Minggu lo selalu izin ke Ibu dan Bapak dengan alasan mau belajar
bersama teman tapi pada kenyatannya lo malah mengajar les.” Silla membantah.
Belum sempat Surya mengeluarkan pendapatnya lagi, tiba-tiba Silla mengangguk,
lalu tersenyum. Sepertinya ia baru sadar akan sesuatu. “Oke, gue ngerti! Gue
kalah sekarang.” ujarnya seraya berjalan memasuki rumah.
“Pada intinya mengajar les sama aja kayak belajar lagi
bukan?” tambah Surya.
“Iya, gue tahu!”