May 26, 2012

Controllable Love

Beludru hitam bak terhampar di langit malam yang pekat
Gemerlap dari sang bintang yang menjangka membentuk tumpuan sudut
Setiap percikan cahayanya yang sampai ke bumi, tak terasa namun indah
Kegelisahan ingin menggapai terlalu tinggi, terutama memiliki
Begitupula kau
Ku hempaskan pandangan mata ini untuk kembali pada laut
Dengan mengartikan bukan ku menyerah melainkan untuk mengendalikan cinta

May 21, 2012

Rinai Hujan

Bulan dan bintang
Kami selalu bertegur sapa dalam kesenyapan malam. Mengakrabi nyinyir angin yang mengganggu kemesraan kami dengan embusannya. Kadang ia membisikkan kegelisahan yang memagutku sampai aku menelusup di balik selimut.
Aku tahu, diriku bukanlah tentang segalanya ketika dia memanggangku dengan sinar matanya hingga aku mengabu tak bersisa.
Wahai, siapakah pemilik muslihat penuh dusta ini hingga menghilangkan kedirianku, mengusikku saat mencari kedalaman kelam pada langit malam.
Aku hanya rinai hujan yang tak akan pernah sampai padanya, pada bulan, pada bintang. Hanya kembali pada bumi.



~Farah Hidayati (Rumah Tumbuh)~

May 17, 2012

From Wira To Elisha

Di sini. Di depan laut yang luas dan tak berujung, mereka bertemu. Saling menatap tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka nikmati setelah terjadinya pepisahaan yang tak mereka inginkan. Elisha masih secantik yang dulu di mata Wira. Senyumannya yang lepas tetap menjadi daya tarik gadis tersebut dan menjadi salah satu hal yang membuat Wira tertarik hingga detik ini. Mungkin yang berbeda hanya rambutnya yang dulu pendek sebahu, lalu sekarang tergantikan menjadi tergerai panjang di punggungnya. Wira pun masih setampan yang dulu di mata Elisha. Mata elangnya yang tajam namun penuh dengan kasih sayang menjadi alasan bagi Elisha untuk tetap berlama-lama bertatapan dengan pemuda tersebut.

"Kau ada di sini?" tanya Elisha, memulai pembicaraan yang sudah lama terputus. Embusan angin laut yang semakin kencang menerbangkan rambut panjang Elisha. Di bawah biasan senja sore, Wira masih senang memperhatikan setiap mimik wajah Elisha yang menurutnya semakin cantik.

"Ya, aku di sini! Laut pertama dan terakhir yang kita datangi bersama." Wira menjawab. Elisha terdiam. Ingatannya langsung melekat ke empat tahun lalu. Dimana mereka berdua berdiri di tempat yang sama, saling mengakui perasaan masing-masing namun tak dapat melanjutkannya.

"Kenapa kamu pergi gitu aja? Kenapa kamu nggak berusaha mempertahankan aku?" nada suara Elisha mulai bergetar. Tergenang sudah air mata Elisha di pelupuk mata. "Apa pengakuan kamu empat tahun yang lalu adalah sebuah kebohongan?" tumpah sudah air mata kesedihan Elisha di pipinya.

Jarak mereka masih terpaut dua meter di depan. Mereka tak berani saling mendekat karena takut akan menimbulkan sebuah kesakitan hati satu sama lain jika mendekat.

"Hal ini yang baru aku pelajari selama hidup ini. Sebuah keikhlasan." Wira mulai menjelaskan. "Jika ini bukan ikhlas namanya, aku bisa saja menculikmu kapanpun. Dan tak akan membiarkan siapapun memiliki kamu."

"Lalu apa kamu akan mengikhlaskan aku begitu saja? Tak ada perjuangan sama sekali?" makin banyak air mata yang mengalir di pipi Elisha, membuat Wira ingin melangkah maju untuk mendekatinya, lalu menghapus kesedihan itu. Namun kakinya terlalu berat untuk melangkah karena ia takut.

"Ada waktunya kapan kita perlu memperjuangkan sesuatu secara mati-matian dan kapan kita perlu melepas sesuatu dengan penuh keikhlasan." ujar Wira. "Seperti dahulu, ayahku, aku, dan Wina berjuang menyelamatkan ibuku dari penyakit yang ia derita untuk disembuhkan. Kami terus berusaha dan berdoa agar       ibuku dapat sembuh kembali. Tapi dari usaha yang telah kami lakukan, Tuhan ternyata mempunyai jalan lain yang lebih indah. Kami nggak tega terus-terusan melihat ibu menderita karena penyakitnya. Mungkin dengan diambilnya nyawa ibuku, beliau akan lebih bahagia di sana dan tanpa merasakan rasa sakit yang terus dideritanya. Maka dari itu, kami harus melepasnya dengan ikhlas setelah kami memperjuangkannya mati-matian."

"Dan aku?"

"Setidaknya kamu sudah tahu bahwa aku menyukaimu. Begitu juga aku. Namun keluargamu mungkin lebih merasa lega dan bahagia jika kamu bersama dengan Rama bukan denganku. Aku belum mempunyai wewenang untuk mengajakmu pergi atau kabur karena aku sadar aku tidak memiliki hal apapun untuk membuatmu bahagia jika kau pergi denganku. Lalu kuputuskan untuk mengikhlaskan dirimu dengan Rama pada saat itu." Wira terus menjelaskan. Matanya yang sedari tadi menatap tajam Elisha, mendadak mengarah ke laut yang terbentang di hadapannya. "Namun ini semua bukanlah akhir, El. Aku berjanji pada diriku sendiri jika telah mendapatkan sesuatu yang dapat membuatmu bahagia di sisiku, aku akan datang menjemputmu meski aku tak tahu apa aku sudah terlambat atau belum."

"Bagaimana kamu bisa yakin jika keikhlasan kamu belum terlambat? Bagaimana jika detik ini aku sudah menikah dengan Rama?" Elisha mencoba untuk menahan diri agar tak berteriak.

Sekali lagi Wira menatap tajam ke dalam mata Elisha. Langkahnya tak berat seperti sebelumnya. Ia berjalan mendekat dengan perlahan. Persis sekarang di hadapannya berdiri seorang gadis yang empat tahun lalu begitu ia sayangi dan sampai detik ini perasaan terdahulu belum berubah. Wira tetap mencintai Elisha dari dahulu hingga sekarang.

"Karena aku yakin dengan mengikhlaskan cinta, kita malah akan dapat menggapainya." setelah mengucapkan kalimat tersebut, sesuatu yang paling ditakuti oleh Wira pun dilakukannya. Sebuah pelukan mendekap Elisha dengan penuh kehangatan di tengah angin laut yang terus berembus. Elisha menangis semakin menjadi. Perasaan kesal, marah, rindu, senang, dan beribu perasaan tak terdefinisi berkumpul menjadi satu di dalam pelukan Wira. "Terima kasih sudah bersabar selama ini. Terima kasih." bisik Wira tepat di telinga Elisha.

Sudah saatnya untuk mereka berdua menggapai sebuah kebahagian dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Ini janji dari Tuhan untuk umat-Nya yang bersabar, dan terus berusaha meski ada peluang untuk putus asa.

May 13, 2012

Kugy's poetry with little revision

Dear Allah


Aku mencintainya
Di depannya aku menjadi diriku sendiri
Seperti air-Mu yang selalu membawa semua pesanku
Dia pun begitu, membuatku hanyut oleh sorot matanya
Membuatku lupa oleh kesederhanaan suaranya
Sampai aku tak bisa katakan apa-apa padanya
Bahkan untuk sekadar bilang rindu atau butuh
Banyak yang tidak mengerti kalau terluka kan saling menyalahkan
Karena itu aku takut bicara tentang hati, maka aku tuliskan saja
Lalu ku simpan dan mungkin ku kirimkan ke entah kemana

May 8, 2012

5C



“You asked us about teamwork, but really there is no secret. We just live like sisters.” - Choi Sooyoung

May 5, 2012

E s

Hidup ini kupersembahkan untuk orang-orang yang ku sayang. Mereka telah menebarkan keceriaan dalam sulitnya hidup. Tak bisa ku tolak jika mereka membutuhkan bantuanku. Sampai suatu ketika, bantuan yang mereka minta adalah mengenai tentang keteguhan hatiku. Mereka ingin aku bersama dengan seseorang yang mereka suka.
Bukannya aku menolak karena aku tak suka dengannya tapi hatiku telah terarah pada yang lain, seseorang yang diam-diam memenuhi otakku hingga pikiranku nyaris dijungkirbalikan olehnya. Usiaku tak semuda seperti saat ku harus memutuskan SMA atau universitas mana yang harus ku pulih namun sekarang adalah pilihan mengenai pendamping hidup yang aku sendiri tak bisa menggantinya.
Mataku mulai mengarah ke depan. Telingaku mulai tertutup. Serta hatiku sudah mulai berbicara. Hidupku bukan untuk orang lain. Naskah yang telah ditulis oleh-Nya mempunyai pemeran utama yang harus mengarahkan dimana drama ini akan berlanjut dan berakhir. Pemerannya adalah diriku sendiri.

May 3, 2012

From Wira To Elisha


Kau terlalu putih dan membuatku sedikit ragu untuk melangkah
Aku selalu berada disekelilingmu dan merasakan diam-diam senyumanmu
Kedekatan sebuah jarak tak berarti membuat kedekatan hati terealisasi
Biarlah ku tetap memandangmu pada kedekatan ini tanpa menyentuhmu

-Wiratama Rahmansyah-

From Elisha To Wira

Aku hanya menatapmu di awal, merasakan senyumanmu, dan mendengar suaramu sesering mungkin
Debar ini tumbuh dengan sendirinya, tak terduga dan tak terbuat
Sekali ku menepis, selamanya terus terngiang
Bagiku ini dinamika tapi mungkin bagimu ini mustahil
Mengejar tak tahu ujung dan menangkap tak tahu umpan
Kelak suatu saat kita saling mengerti dan mengenal isi hati masing-masing


-Elisha Anindya-

May 2, 2012

2 hearts (temporary title)


          Menilik keadaan dunia dari dua sudut pandang yang berbeda. Dimana kesenangan dan kesedihan kadang datang tak diduga. Kisah seorang pemuda bernama Wira yang memutuskan suatu pendapat dengan cara memberontak dan kisah seorang gadis bernama Elisha yang memutuskan suatu pendapat dengan cara menilai dari sisi positif.
            Wira yang tiba-tiba ditinggal mati oleh ibunya pada mulanya mengalami depresi dan pergejolakan jiwa. Ditambah lagi sang ayah menikah dengan wanita lain setelah enam bulan dari kematian ibunya. Jiwa memberontak mendadak tumbuh dengan ketidakpeduliannya. Sedangkan di keadaan yang lain, Elisha hampir mengalami nasib yang serupa dengan Wira. Ia tiba-tiba ditinggal mati oleh kedua orangtuanya sekaligus. Pertahanan Elisha nyaris terkoyakan akan musibah ini. Namun atas kelapangan hati yang mendadak terbentuk, Elisha mulai mengerti bahwa semua yang diujikan padanya adalah awal dari segalanya.
           Pertemuan mereka pun dituliskan dalam takdir masing-masing. Saling mengerti, belajar, serta memahami sehingga ada suatu ilmu tak pasti tumbuh di antara keduanya, yaitu cinta. Melalui ilmu tak pasti ini pula, mereka berdua belajar akan sesuatu. Seperti Wira yang mulai belajar keikhlasan dan Elisha yang belajar keteguhan hati.