March 10, 2013

Pelangi Terakhir

Mulanya kau tak diatur dalam sebuah ambisi maju. Namun waktu telah mengajarkan banyak sisi lain yang tak kau pelajari dengan tuntas dan saksama. Terlibatnya baku hantam melalui jalur belakang telah membuatmu terus melaju hingga ke orbit terdepan, ingin menyaingi sang raja bola api. Menguasai semesta, itulah tujuan hidupmu yang tertulis pekat dalam otak. Ketidakwajaran pun terjadi. Layaknya kau dengan metode sihir penuh racun sianida kadar tinggi, tak berbentuk dan kasat mata, mudahnya kau menjungkirbalikan kekekalan. Membuat sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin dan membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Dalam kesombonganmu yang tak berlapis, tolong jangan lupakan akan hal-hal relatif yang sekejap dapat mengubah segalanya. Apakah kau ingat dengan cahaya beraneka warna yang sejajar di langit? Yang dulu pernah kau coba untuk musnahkan tetapi selalu tak berhasil? Karena cahaya warna-warni itu selalu muncul lewat medium lain. Mereka pun muncul kembali. Dengan berbekal pembiasan cahaya matahari oleh butir-butir air, mereka membentuk busur spektrum warna besar yang melingkar. Warna-warna sang pelangi, begitulah alam menyebutkannya. Walau kau mengira mereka hanya bertujuh, tapi bagaimana jika salah satu panjang gelombang dari warna putih cahaya matahari terlanjur membentuk pita garis pararel berikutnya? Dengan berparadigma pada si pelangi merah yang berada di atas dan si pelangi ungu yang berada di bawah, kau tak akan pernah sadar jika di bawah pelangi ungu ada pelangi yang lain. Pelangi terakhir, demikian alam menyebutkannya.

Jaringan Pikiran

Kita memang tak dekat. Kita berkomunikasi. Kita bertukar pikiran. Namun jaringan yang mewadahi kita sama sekali tak terdefinisi. Kadang aku yang menjadi klien dan kau yang menjadi server tapi kadang sebaliknya. Hampir seluruh aplikasi seperti ini dimiliki semua orang tapi jaringan yang mereka jalin berbeda dengan kita. Komunikasi kita memang bersistem tapi tak berinduk. Tak dibutuhkan perangkat keras, lunak, maupun peralatan interkoneksi lainnya untuk menghubungan dua keterikatan tidak ilmiah kita.
Mungkin ini terdengar lucu tapi memang benar adanya. Fisiologis tubuh kita menjadi terhubung. Tak semata-mata pikiran saja yang berfungsi. Respon kulit galvanik kita mengerang jika salah satu dari kita sangat membutuhkan. Inilah detektor alamiah bukan sekadar ilusi belaka. Jarak jauh ataupun tidak, kita tetap tak mengenal jaringan komunikasi wilayah. Bisa dikatakan mirip dengan jaringan nirkabel, tak kasat mata dan penuh gelombang elektromagnetik. Namun ingat, tanpa batasan wilayah.
Agak tidak rasional jika kita bicara dengan orang ilmiah mengenai cara berkomunikasi kita tapi jangan salah menerka, komunikasi kita yang terjaring ini telah mendapat penelitian dari mereka. Bahwa kita itu spesial. Telepati, itulah koneksi yang menyeruak jaringan sistem alam bawah sadar kita untuk saling menguatkan maupun mengingatkan.

March 2, 2013

Puisi Malam part 9