October 30, 2012

Puisi Malam part 4





Sekarang dan tidak untuk nanti

Aku melihatnya begitu sempurna dibalut dengan gamis cokelat muda dan jilbab dengan warna yang senada pada hari ini. Aku tahu pandangan ini salah karena memang belum sepantasnya aku memandanginya dari jauh. Namun ada sesuatu hal di hatiku yang membuatku sangat mantap untuk memandanginya sekali lagi melintasi jalur yang benar.
Entah apa yang kupikirkan saat ini tapi penantianku selama ini harus dijawab sudah. Ku datangi dirinya, lalu mulai mengutarakan maksudku, "Kau tahu kita sudah kenal lama?" setelah bosan berbasa-basi di awal, akhirnya aku langsung saja bertanya seperti itu.
"Ya, benar!" jawabnya singkat.
"Apa selama ini ada pria yang sedang mengisi hati kamu?" pertanyaanku selanjutnya ternyata berhasil membuatnya terkejut.
"I...itu," dia menjawab dengan gugup. "ng...nggak ada." jawabnya lebih lanjut. Aku tahu inilah saat yang pasti dan tepat.
"Apa kelak aku bisa?" tanpa perlu diperjelas, sepertinya ia mengerti apa yang kumaksudkan.
"Jika kau berani bilang kepada orangtuaku." entah mengapa aku merasa tertantang dengan perkataannya barusan.
"Tentu. Kapan aku bisa bertemu dengan orangtuamu?" tanyaku mantap. Kali ini giliran dirinya yang salah tingkah dengan tantanganku.
"Secepatnya." jawabnya tak yakin.
"Besok? Oke, akan aku siapkan diri." dia melongo setelah mendengar kata 'besok'.
"Tunggu sebentar!" cegahnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan dengan orangtuaku?"
"Meminta izin untuk meminangmu, lalu menikahimu." ekspresi wajahnya tak seterkejut sebelumnya. Dia mengangguk mengerti dan tersenyum manis (kelak aku dapat menikmati senyuman manisnya dengan cara yang halal).
"Kenapa mesti besok? Bagaimana kalau nanti malam ada pria lain yang meminangku lebih dulu?"
Aku tertawa mendengar tantangan demi tantangannya. "Oke, nanti sore aku akan menemui kedua orangtuamu." jawabku mantap.

Sempurna

Hanya ada kata hancur di hatiku ketika tiba-tiba Arya melepaskanku. Tak ada angin tak ada hujan, begitu saja ia tiba-tiba membebaskanku untuk terbang kembali. "Mungkin ini yang terbaik, Ka." ucap Arya di malam perpisahan kami. Air mataku tak dapat dibendung lagi, lalu menumpah ruah di pipi. Jalinan kasih yang telah kami rajut hampir dua setengah tahun, kandas begitu saja. Aku berusaha tegar, tak memohon untuk kembali karena hatiku termakan oleh perkataan halus Arya, "Mungkin ini yang terbaik."
Namun perkataan halus ini seolah menjadi boomerang bagiku. Tak genap satu bulan selang ia melepaskanku, mendadak ia telah menangkap merpati yang lain. Entah aku yang begitu polos atau memang Arya yang...ah sudahlah.
Waktu demi waktu terlewati. Aku sudah mencoba untuk berdiri sendiri walaupun agak susah dengan topangan. Saat dilematis ini pula, aku dipertemukan kembali oleh kawan lama, Herdi. Dulu kami berteman namun tak sedekat bersahabat pula. Dulu memang aku sempat mengaguminya sampai rasa kagumku tertutup gunung buta yang dibangun oleh Arya. Namun sekarang gunung itu telah terbang dan yang tersisa hanya rasa kagumku yang masih ada.
Perkataannya masih sesejuk dahulu. Pemikirannya masih setajam dahulu. Sempat ada rasa ragu di hatiku, karena dia terlalu baik jika disandingkan denganku. Namun tanpa diduga hati kecilku sendiri berkata, "Jika memang ini yang terbaik untukku, mengapa tak ku minta saja pada-Nya agar aku diberi yang terbaik sepertinya?"
Diriku memang belum menjadi yang sempurna namun akan lebih baiknya jika ketidaksempurnaanku dapat ditutupi oleh kesempurnaannya dengan jalan sempurna yang diberi oleh-Nya.

October 29, 2012

Puisi Malam part 3

Move On? Should I?

Move on. Kata yang mudah sekali meluncur dari mulut orang yang sedang dilanda patah hati. Kata yang dikira paling sakti sebagai pembuktian diri bahwa sudah tidak sedih lagi. Namun apa move on itu hanya buat mereka yang baru saja putus cinta? Menurutku tidak.
Contoh yang baru saja (sedang) aku alami sekarang. Aku memutuskan untuk pindah dari kosan di Depok. Padahal kosan itu adalah satu-satunya rumah keduaku sekaligus tempat yang paling pewe setelah rumah di Cirebon. Memang susah untuk memutuskan hal ini namun aku memutuskan hal ini bukan karena tak punya tujuan ke depannya.
Ada beberapa tujuan yang aku bangun sehingga aku berani meninggalkan zona nyamanku. Nekat? Bisa dibilang seperti itu. Tak ada alasan spesifik yang memaksaku untuk pindah. Ini bukan paksaan dan ini bukan tanpa pemikiran yang matang. Namun sebuah tujuan besar di masa depan.
Balik lagi kepada move on. Ternyata, eng ing eng, pindah ke sebuah lingkungan baru bukanlah perkara mudah. Ditambah lagi lingkungan baru sangat berbanding terbalik dengan lingkungan lama. Terkejut? Sudah pasti. Agak menyesal mengambil keputusan ini? Bisa jadi. Malam pertama hingga saat ini (malam ketiga) aku masih agak susah move on untuk tak mengingat-ingat memori di Depok terus-terusan. Bayangan kamarku di Depok, wajah teman-teman kosanku, serta suasana kota Depok masih menghantui pikiranku hingga sekarang. Kepikiran untuk kembali lagi masih ada. Sangat ada. Empat tahun sudah aku menggambar banyak memori di sana dan pasti sangat susah untuk dilepas. Inilah tanda-tanda aku akan susah untuk move on.
Namun kembali lagi kepada tujuan besar di masa depan. Ingatlah bahwa keputusan ini bukan semata-mata aku ambil karena aku emosi pada KRL (salah satu alasan pindah kosan). Ingat bahwa ada sebuah conclusion di balik ini semua.
Untuk menggapai sebuah mimpi memang tidak mudah. Kau harus rela kehilangan zona nyamanmu, mempelajari lingkungan baru, serta lebih dewasa dalam menghadapi ribuan karakter orang yang berbeda. Dengan cara seperti inilah mungkin aku lebih dapat mengambil hikmah dari sebuah kejadian, berani meninggalkan zona nyaman, dan tetap teguh pada pendirian.
Sebuah pelajaran hidup yang sangat besar jika aku pikir-pikir :)

October 14, 2012

Puisi Malam part 2

Puisi Malam part 1

From Wira To Elisha (quotes)

Sastra Time part 1

October 13, 2012

Dua Pilihan

Hidup memang selalu berada di antara beberapa pilihan. Terkadang pilihan itu sendiri yang dapat membuat kita dilanda kegalauan luar biasa. Terutama jika pilihan itu akan menentukan masa depan kita. Jika kita salah dalam memilih, kehidupan di masa yang akan datang menjadi taruhannya.

Jauh dari pilihan masa depan, aku mengambil contoh fenomena di antara dua pilihan yang telah melandaku baru-baru ini. Kasus ini sederhana dan tidak sampai menentukan masa depanku. Dengan bermula kegalauan, apakah aku akan melaju dengan menggunakan wordpress ataukah blogspot. Sebenarnya ini bukan sesuatu hal yang patut digalaukan karena ini tak begitu penting. Tapi menurutku penting juga karena aku ingin mengembangkan bakat menulisku sehingga dengan berawal dari kenyamanan, semuanya akan berjalan lancar jaya.
Akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan blogspot. Kenapa kembali lagi ke blogspot? Karena blogspot simpel, lebih mudah dimengerti serta tidak banyak cingcau (alias tidak sedikit-sedikit disuruh bayar).


Wordpress memang menawarkan fitur yang lebih lucu, tema yang lebih banyak dan tidak biasa. Namun aku kesulitan dalam mengembangkannya. Mungkin aku saja yang belum tahu dan belum bisa dalam mengembangkan wordpress. Tapi kembali lagi pada diriku sendiri. Aku tipe orang yang simpel, tidak mau ribet, dan mengutamakan kenyamanan. Belum lagi wordpress baru sekali aku kaji sedangkan blogspot sudah aku kaji sejak lama. Dan untuk lebih meyakinkan kepercayaan diri sendiri, akhirnya blogger ku ini ku ubah namanya menjadi dikasadiah.blogspot.com
Kalau dipikir-pikir, fenomena ini seperti sedang galau di antara dua pilihan pria. Dua-duanya sama-sama menarik. Namun butuh analisis dan pendalaman untuk melihat bagaimana karakter masing-masing. Tidak perlu waktu yang lama, dengan cara mengobrol pun akan ketahuan. Siapa yang dapat membuat nyaman dia yang dipilih.
Well, pada intinya kenyamanan itu perlu dalam mengembangkan sebuah hubungan ke depannya.
Happy choosing ^^

It is time to Sawarna

Liburan. Satu kata paling didambakan oleh semua orang. Ngomong-ngomong soal liburan, aku belum sempat men-share mengenai pengalamanku berlibur ke Sawarna, entah sebuah desa atau kecamatan atau kabupaten, yang jelas sebuah tempat di daerah tenggara pulau Jawa.
Aku dan teman-teman kuliahku pergi ke sana pada awal September lalu. Dengan menggunakan mobil, kami menempuh jarak sekitar 6 jam. Sampai pada akhirnya, kami tiba di homestay (di sana kebanyakan homestay dibandingkan hotel atau motel). Homestay kami sangat nyaman. Pemandangan di luarnya sungguh sangat luar biasa hijau.



Tidak terlena akan begitu saja, kami mulai mengarungi beberapa tempat berkesan di sana, seperi Goa Layang (kalau nggak salah itu namanya), Tanjung Layar, dan Laguna Pari. Walau kami harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki untuk mencapai tempat indah tersebut, namun tak pernah ada kata menyesal. Sawah hijau membentang, pasir lembut tergelar, laut biru menghampar, ombak menggulung, matahari benderang, karang berdiri kokoh, udara segar menyeruak, serta suasana jauh dari hiruk pikuk Those are awesome memories :D


more real photos, click here

Euforia SM Town





Ini kali pertama, aku menonton sebuah konser. Langsung. Pakai uang sendiri. Senang? Tentu saja! Hiburan yang lumayan berkesan dan tak memberatkan orangtua.
Konser yang kutonton pertama kali sepanjang sejarah hidupku tak lain dan tak bukan adalah konser SM Town, sebuah konser yang diisi oleh boyband dan girlband asal negeri gingseng alias dari Korea.
Entah apa yang kupikirkan sampai memutuskan menonton konser ini. Padahal aku bukanlah maniak Kpop. Namun karena rasa penasaranku yang besar, akhirnya aku memutuskan merogoh kocekku sampai Rp 800.000, jumlah yang tak sedikit bukan?
Perjuanganku bukan sampai di sini saja. Aku harus rela panas-panasan dan mengantre berjam-jam di tempat konser untuk menjadi orang pertama yang masuk GBK demi mendapatkan tempat duduk yang enak untuk menonton konser (maklum, free seat).
Dan pengorbananku terbayar sudah dengan aksi artis-artis SM Management yang tampil memukau. Walaupun aku tidak hapal atau tahu siapa artis-artisnya, namun aku cukup terhibur dan dapat berdendang serta berjoget dengan penonton lainnya, mengikuti irama musik yang menggema di seisi GBK.
Well, menurutku cukup sampai di sini saja aku menonton konser Kpop karena jika aku terus-terusan mengikuti artis-artis Korea yang akan konser di Indonesia, lama-lama aku dapat menjadi freak Kpop. Ini hanya sebatas iseng belaka dan mencari pengalaman bagaimana rasanya menonton konser serta melihat ekspresi dari para penonton yang melihat langsung performance idola mereka di panggung.
Salam Kpop ^^

October 8, 2012

Selamat ulang tahun, sayang!

Pikiran Fira telah melayang bebas. Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan malam hari ini Dimas, kekasih Fira, mengajak ia makan malam di luar. Dia berkhayal kalau-kalau Dimas datang membawa kejutan manis, seperti contohnya adalah melamar dirinya dengan membawa sekotak cincin emas serta sekuntum bunga mawar. Fira hanya dapat senyum-senyum sendiri membayangkannya.
Menit berganti menit. Jam berganti jam. Fira melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Waktu telah menunjukan pukul setengah sembilan malam namun sosok Dimas belum juga terlihat. Fira telah menunggu Dimas nyaris satu jam dari waktu yang ia janjikan dengan kekasihnya itu. Suasana kafe makin sepi mengingat sekarang adalah malam Rabu dan bukan malam Minggu. Hanya segelas air putih yang dapat menemani Fira di tempat itu. Fira telah mengirimi beberapa pesan singkat namun tak mendapat balasan dari Dimas. Akhirnya Fira pun mencoba untuk meneleponnya. Namun sayangnya, ponsel Dimas dalam keadaan tidak aktif.
Mendadak ponselnya berdering dan ternyata Dimas yang menelepon. "Hallo! Kamu dimana sih, Dim? Aku udah nungguin kamu satu jam nih!" Fira menyerocos langsung di telepon.
"Maaf sayang, motor aku mendadak mati nih! Gini, kamu bisa nyamperin aku ke sini nggak?" pinta Dimas dari seberang telepon.
"Kamu dimana?" tanya Fira.
"Aku di bengkel depan Rumah Sakit Kasih Bunda. Dekat dari kafe tempat janjian kita kok. Kamu ke sini ya, sayang!" pinta Dimas dengan nada pelan. Entah apa yang dirasa oleh Fira, ia pun menyanggupi permintaan pacarnya itu.
Sesampainya di depan Rumah Sakit Kasih Bunda, Fira pun kebingungan karena tidak ada bengkel di sekitar situ. Ketika ia hendak menghubungi Dimas, mendadak sebuah mobil berhenti di hadapannya. Kaca mobil terbuka dan terlihatlah Tante Ine, ibunda Dimas.
"Fira!" panggil Tante Ine. Fira terkejut melihat Tante Ine di situ. Matanya penuh dengan air mata.
"Tante lagi apa di sini?" entah apa yang terjadi, Tante Ine turun dari mobil, lalu menarik tangan Fira, memasuki rumah sakit.
~
Fira hanya tergolek lemas di kursi rumah sakit. Sebuah kotak kecil warna merah tergenggam di tangan kanannya dan tangan kirinya memegangi secarik kertas. Dimas mengalami kecelakaan motor dalam perjalanan menuju kafe. Mengenaskannya, ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Mata Fira yang penuh dengan linangan air mata pun membuka kotak kecil warna merah yang ditemukan tim rumah sakit dalam tasnya Dimas. Sebuah cincin emas terlingkar di dalamnya. Lalu dengan usaha yang keras, Fira pun membaca surat yang ditemukan juga di dalam tasnya Dimas.
Selamat ulang tahun, sayang! Semoga kamu selalu bahagia dengan atau tanpaku

October 5, 2012

Forever

Aku tak dapat mendeskripsikan apakah ini puncak dari kegembiraanku selama ku hidup di dunia. Tapi dengan melihat kau duduk di sebelahku, menjabat tangan ayahku, lalu mengucapkan janji suci di hadapan orang banyak, telah mampu membuat hatiku berdegup sangat kencang dan mampu membangkitkan senyuman terdalamku.
Air mataku mendadak menetes. Inilah ekspresi dariku mencerminkan perasaanku saat ini. Kau membuktikannya. Kau berani mengambil langkah besar ini. Untuk sebuah kehikmatan dunia dan akhirat.
Pertama kalinya matamu menatap mataku dalam keadaan halal. Seberkas senyum terhias di wajahmu. Ku raih tangan kananmu dan mencium punggung tanganmu masih dalam keadaan menangis.
Doa pun dipanjatkan setelah kau mengucapkan janji suci ini. Hatiku bertalu-talu memanjatkan doa pada-Nya. Aku sudah mantap. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Kau yang pertama dan yang terakhir. Aku mencintaimu sekarang dan kelak.
Dan di atas pelaminan, mendadak kau berbisik di telingaku. "Terima kasih sudah menungguku dengan sabar. Aku nggak terlalu lama menjemputmu kan?"
Aku mengangkat kepalaku, lalu memandangmu lagi. "Nggak. Allah memberikanmu padaku dalam waktu yang tepat dan yang ku inginkan."
"Terima kasih juga sudah menerimaku." ujarmu lagi.
Aku tertawa kecil. "Jika kau mengajukan sebuah yang halal, bagaimana aku menolak." tanpa pikir panjang, aku menggandeng tanganmu. "Dan kau satu-satunya lelaki paling pemberani yang pernah ku kenal." pujiku. Wajahmu mendadak memerah.
"Oh ya? Jadi sebelumnya?" kau menahan tawa.
"Hanya datang laki-laki yang menawarkan janji-janji palsu." kami berdua tersenyum.
Aku mengenalmu tak lebih dari tiga bulan namun entah mengapa setelah dialogku dengan-Nya, hatiku pun mantap untuk memilihmu.

Seperti Biasa

Kau datang padaku saat hujan turun dengan lebat malam hari itu. Aku menemukanmu menggigil di depan teras kosanku dengan keadaan basah kuyup. Tanpa pikir panjang lagi, aku mempersilahkan kau masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Dengan segera aku mengambil handuk di kamar dan menyampirkannya di pundakmu.
Namun aku menemukan sesuatu yang ganjil di sana. Di bawah matamu. Terdapat setetes air yang mengalir dan itu bukan air hujan melainkan air mata.
"Ada masalah apa lagi?" tanyaku langsung. Kau yang lagi sibuk mengeringkan rambut panjangmu, mendadak terdiam, lalu menatapku perlahan.
"Ketahuan ya?" kau mencoba tersenyum namun gagal di mataku.
"Dia kenapa lagi? Nyakitin lo lagi?" aku sudah tahu apa yang ingin kau ceritakan. Pasti tak jauh-jauh soal dia.
Senyum palsumu mendadak hilang dan yang ada sekarang hanyalah tangisan asli. Bahumu berguncang. Kau terisak. Aku tahu aku salah menanggapimu kali ini. "So...sorry," aku langsung duduk di sebelahmu sembari memegang pundakmu. "bukan itu maksud..." mendadak kedua tanganmu melingkar di pinggangku. Kau menelusup di antara dada dan bahuku, lalu membenamkan wajahmu di situ. Dapat kurasakan air mata hangatmu tepat di hatiku.
"Bagaimanapun gue disakitin sama dia, entah mengapa gue berat buat lepas darinya. Gue udah terlanjur sayang." tangisanmu makin mendalam.
Seperti biasa, aku hanya dapat membelai rambutmu sembari lagi-lagi berkata, "Menangislah!"

October 3, 2012

Rindu Tanpa Nama

Aku masih tak tentu arah. Menjelajah daerah asing, melintasi perbedaan waktu serta memangkas kenyamanan. Ku lakukan semuanya untuk belajar dari pengalaman atau sekadar untuk mencarimu.
Kelak aku sangat membutuhkanmu
Kelak aku akan membahagiakanmu
Kelak jarak ini tak akan lagi memisahkan kita
Kelak akan ada pertemuan buah dari hasil kesabaran
Kelak setelah kau halal bagiku, sejauh apapun jarak akan selalu tetap menyatukan kita

Duhai seseorang yang tak kuketahui siapa, sejak lama aku mendambamu.
Duhai seseorang yang tak kuketahui dimana, aku selalu mendoakanmu agar kau selalu di bawah naungan-Nya
Duhai sang pemilik tulang rusuk, kapankah kau menghentikanku dalam pencarian ini?
Duhai calon imamku, apa kau tak mau mengambil rindu ini sekarang?

Rindu ini masih tanpa nama
Dan akan ternamai hanya dengan namamu saja
Segera tulislah namamu

Pupus

"Ya ampun Fer, makasih banget ya bantuannya tadi!" ujar Hilda seraya tersenyum lebar kepada Ferdy, salah satu teman sekelasnya yang telah membantu Hilda dalam mengerjakan soal Kimia tadi.
"Sama-sama, Hil. Apa gunanya teman coba kalau nggak saling tolong?" balas Ferdy. Tentu saja Ferdy senang hati dalam menolong Hilda. Ferdy menyukai Hilda semenjak mereka sekelas. Hilda duduk di depan Ferdy sehingga intensitas kedekatan mereka sangatlah akrab.
"Lo emang teman yang paling baik, Fer." Hilda menepuk-nepuk pelan bahu Ferdy. Mendadak, hati Ferdy berdegup kencang. Sudah sejak lama Ferdy berencana ingin mengutarakan perasaan terdalamnya kepada Hilda namun lagi-lagi Ferdy terbentur oleh perasaan tidak enak. Ia takut jika Hilda mengetahui perasaan sebenarnya, gadis itu akan menjauhinya. Tapi jika ia tetap memendam perasaan ini, Ferdy juga takut akan ada lelaki lain yang akan menyalipnya untuk mendapatkan hatinya Hilda.
"Gue mau ngomong sesuatu." mendadak Hilda dan Ferdy berkata hal yang sama berbarengan. Hilda tertawa kecil.
"Lo duluan deh, Fer!" suruh Hilda.
"Lo duluan aja, Hil! Ladies first." timpal Ferdy.
"Dasar lo!" Hilda pun menengok ke kanan dan ke kiri, untuk memastikan tak ada orang yang menguping pembicaraan mereka. "Sebenarnya gue agak malu sih bicara tentang hal ini," Hilda pun memulai ceritanya. "tapi kalau gue pendam terus, gue takutnya nyesel pada akhirnya." Ferdy menahan nafas ketika mendengar lanjutan cerita Hilda.
"Lo mau cerita apa ya?" Ferdy tak sabaran dengan cerita Hilda selanjutnya.
Hilda menatap mata Ferdy. "Lo mau nggak," kalimat seperti itulah yang Ferdy tunggu-tunggu sedari tadi dan berharap jika kelanjutannya berbunyi seperti ini 'jadi pacar gue?'. Dan ternyata sambungan kalimat itu diluar dugaan dari harapan Ferdy.
"M...maksud lo?" tanya Ferdy gagap.
"Masa mesti gue ulang sih?" Hilda tak kuasa menahan malu. Pipinya telah berubah warna menjadi seperti tomat. "Lo mau nggak, comblangin gue sama Dion, temen lo di kelas sebelah, Fer?" pinta Hilda dengan tatapan penuh harap. "Gue suka dia udah lama. Mau ya bantuin gue?" Hilda tersenyum manis dan tak menyadari perubahan ekspresi wajah Ferdy.
Tubuh Ferdy serasa melayang. Tak ada lagi senyuman kegembiraan yang terpancar di wajah pemuda tersebut. Namun air wajah Hilda yang terlihat begitu manis dapat meluluhkan hati Ferdy.
"Sebisa gue, Hil." sahut Ferdy memaksa untuk senyum. "Sebisa gue apakah gue sanggup ngelihat lo pacaran sama cowok lain." lanjut Ferdy dalam hati.

October 1, 2012

Tangisan Tanpa Memori

Saskia termenung melihat seorang pria berjalan di hadapannya sembari menggandeng tangan seorang wanita. Pikirannya kosong dan hatinya hampa. Entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi perih dan sesak. Air mata mendadak meleleh dan terjun bebas di pipinya. Ia benar-benar tidak tahu mengapa perasaannya bisa sepedih ini. Padahal ia tak mengenal pria dan wanita tersebut.
Tangannya gemetaran meraih pegangan kursi. Kakinya tak kuat menopang tubuhnya. Disenderkannya punggung di atas kursi. Sejuta pertanyaan bermunculan di otak Saskia. Apa yang telah terjadi dengan dirinya? Untuk apa ia menangisi orang yang tak ia kenal? Lalu pertanyaan yang paling menyeruak di benak Saskia adalah, apa alasan ia menangisi orang tersebut?
Entah kapan letupan pertanyaan ini dapat ia temukan jawabannya. Ingatan memori Saskia telah memudar. Ia tak akan pernah tahu pria yang ia tangisi adalah Arya, pria yang pernah menorehkan kebahagiaan di hati Saskia, lalu mendadak pergi meninggalkannya. Kelak, jika ingatan Saskia benar-benar tak kembali, seharusnya tangisan tanpa memori ini menjadi yang pertama dan terakhir kali untuk seseorang yang pernah menyia-nyiakannya itu.

Berteman lagi?

Kedua tatapan mata ini bertemu kembali. Lama sudah mereka tak bertatap muka bahkan berpandangan cukup lama seperti saat ini. Hanya ada ekspresi saling terkejut di antara Nerina dan Reza, mantan sepasang kekasih yang sudah lama tak bertemu.
"Ha...hai!" sapa Reza dengan gagap.
Nerina hanya dapat tersenyum paksa. "Ha...hai juga!" balas Nerina tak kalah gagap.
Keheninganlah yang dapat melanda mereka di saat seperti ini. Dari Reza maupun Nerina sepertinya sudah kehilangan topik pembicaraan. Padahal empat tahun lalu, setiap kata pun dapat menjadi topik yang seru bagi mereka.
"Lagi sibuk belanja ya?" tanya Reza basa-basi sembari melirik kedua tangan Nerina yang digantungi oleh tas belanjaan.
"A...ya, seperti itulah!" jawab Nerina singkat. Tanpa dipungkiri, hatinya berdebar kencang. Inilah kali pertama ia bertemu Reza lagi setelah satu setengah tahun lamanya, semenjak mereka putus.
"Ada waktu buat ngobrol-ngobrol sebentar di cafe?" tawar Reza seraya tersenyum. Nerina dapat menangkap senyuman Reza itu. Senyuman yang dulu ia lihat hampir setiap hari. Senyuman yang membuat dia susah untuk move on setelah putus dari lelaki tersebut.
"Boleh!" Nerina setuju. Mereka berdua pun duduk-duduk di sebuah kedai kopi sembari bercerita mengenai kehidupan masing-masing setelah berpisah.
"Jadi lo baru putus?" tanya Nerina hati-hati setelah mendengar cerita Reza.
"Ya, begitulah!" Reza membenarkan. "Terkadang," pandangan Reza menerawang. "gue nyesel udah putusin lo dulu." ingatan Nerina langsung kembali kepada peristiwa satu setengah tahun yang lalu, dimana Reza memutuskannya hanya karena masalah yang menurutnya abstrak.
Nerina mencoba tertawa, namun ia tahu tawanya tak renyah. "Itu kan masa lalu, Za. Pasti ada penyesalan." Nerina menyahut.
"Lalu, apa lo nggak pernah rindu sama gue?" Reza langsung menembak pertanyaan mati. Nerina terdiam tak menjawab. Bagaimana mungkin ia melupakan Reza dengan mudah? Walau ia bukan pacar pertama tapi Reza adalah satu-satunya lelaki yang pernah berkesan di hati Nerina untuk waktu yang lama.
"Pernah sih." Nerina menghela nafas. Reza tersenyum mendengar jawaban singkat Nerina.
"Apa kita bisa," hati Nerina makin berdegup kencang. "berteman seperti dulu lagi? Mulai dari zaman sebelum kita pacaran?"
Pandangan Nerina tertuju tajam ke mata Reza. Kepalanya terangguk. "Bisa." ujarnya pelan.
"Benarkah?"
Nerina mengangguk memastikan. "Untuk merayakan pertemanan kita lagi, gue mau minta lo melakukan satu hal, Za."
"Apa?"
"Lo datang ke pernikahan gue minggu depan ya?"
Bak disambar petir di siang bolong setelah mendengar perkataan Nerina barusan. Reza tergagap dan seolah salah mendengar dengan maksud Nerina. Tapi ternyata pendengarannya tidak salah. Terdapat sebuah cincin perak melingkar di jari manis Nerina.
Reza tersenyum kecut. Ribuan penyesalan tertanam mendadak karena sudah memutuskan Nerina. Ia merasa menjadi yang paling bodoh sekarang.

Lingkaran Hidup

Mengenai cinta, kita saling memberi serta mengasih. Itulah sebuah keseimbangan yang selaras. Namun apakah ini sudah cukup bagimu atau bagiku?
Tidak.
Terjebak dalam sebuah kenyamanan terkadang membuatku cemas. Apakah kenyamanan ini tak berimbas apapun dalam hubungan ke depannya? Layaknya kita yang sudah terjebak dalam lingkaran kenyamanan serta enggan keluar hanya untuk sekadar belajar membuat persegi bahkan kubus.
Cerita kehidupan tak selamanya datar. Sebuah bangun ruang abstrak dapat menjadi masa depan kita. Aku hanya mencemaskan kita tak dapat menemukan titik-titik sudut, lalu menarik sebuah makna. Aku takut kita tak dapat memperkirakan cukupnya rusuk untuk membatasi sisi. Aku takut kita tak mempunyai sisi untuk membangun ruang. Aku takut kita terlena mengisi volume tanpa sebuah pemikiran ke depannya, apakah cukup atau kurang. Karena selama ini kita hanya mengetahui tentang sebuah benda dua dimensi yang tak akan pernah mempunyai sudut bernama lingkaran.