November 10, 2012

Vinda, temanku

Aku terus didoktrin untuk terus belajar agar dapat membantu pembangunan negara ini. Analisis demi analisis, rumus demi rumus, serta definisi demi definisi. Otakku sudah terpusat untuk mendapatkan nilai bagus agar dapat dibilang mampu. Namun apakah kepintaran intelejen ini akan berpengaruh besar dalam ke depannya?
Seperti layaknya temanku, Vinda. Dia tergolong orang yang jenius tingkat tinggi. Mungkin jika dilanjutkan, dirinya dapat kuliah di Oxford. Namun apa yang ia lakukan? Ia mendadak menghilang dari pergaulan setelah diwisuda. Aku sebagai teman tentu saja terkejut dengan berita kehilangan Vinda. Orangtuanya saja tidak tahu dimana dia berada.
Ternyata Vinda tidak benar-benar hilang. Seminggu setelah kepergiannya, Vinda mengirimkan surat untuk orangtuanya dan juga untuk teman-temannya, termasuk aku. Di dalam suratnya, ia hanya menyuruh kami untuk tidak cemas memikirkannya. Ia dalam keadaan baik-baik saja.
Setiap bulan, Vinda rutin memberikan kabar kepada orangtuanya. Sampai pada akhirnya, setelah hampir tiga tahun Vinda menghilang, akhirnya ia muncul kembali. Ia datang ke rumahku secara mendadak. Penampilannya sungguh luar biasa berbeda dari jaman kuliah dulu. Ia hanya mengenakan kemeja lusuh dan celana bahan hitam yang agak memudar warnanya. Kulitnya tak seputih dulu dan agak kehitaman sekarang. Tentu saja aku terkejut bukan main dengan penampilan Vinda sekarang. Aku langsung memeluknya karena aku benar-benar rindu dengan sahabatku yang satu ini.
"Lo kemana aja sih?" tanyaku penuh haru tanpa terasa air mataku nyaris jatuh. "Gue khawatir."
Vinda hanya tersenyum manis. "Gue masih di tanah air kok cuma di pulau yang berbeda."
Kami pun berbincang-bincang selayaknya jaman kuliah dulu. Akhirnya aku dapat mengetahui alasan mengapa Vinda pergi tanpa kabar dan menghilang.
Vinda memutuskan untuk menjadi guru sukarelawan di Kalimantan sana. Ia mengatakan, banyak anak-anak pintar di sana yang tak dapat pendidikan yang layak sehingga ia memutuskan untuk membagikan ilmunya kepada anak bangsa di tanah borneo sana. Ia juga bercerita mengenai suka duka menjadi guru sukarelawan di sana dan ceritanya itu membuat hatiku terenyuh. Aku menangis mendengarnya.
"Lo kenapa nangis, La? Jangan nangis dong! Gue kan bukan lagi cerita sedih."
Aku langsung memeluk Vinda. Temanku yang satu ini benar-benar tiada duanya. Kenekatan yang ia punya telah mengajariku banyak hal. Kepintaran yang ia punya tidak membuatnya sombong dan mementingkan kepentingan pribadi. Padahal dengan kecerdasannya itu mungkin sekarang Vinda sudah dapat pekerjaan yang sangat layak di ibukota. Namun ia membuang itu semua hanya demi membagikan ilmunya kepada sesama anak bangsa di pulau seberang sana.
Aku malu pada diriku sendiri. Aku tak sejenius dia dan hatiku pun tak sebening dia. Apa yang bisa aku banggakan dari diriku ini?
"Jangan nangis lagi dong, La! Masa sebagai anak bangsa, kita cepet menjatuhkan air mata?" Vinda menyudahi pelukanku.
"Lo emang sahabat yang membawa lampu sangat terang di hidup gue, Vin." ujarku sembari terisak.
Vinda tersenyum manis mendengarnya, lalu kami pun berpelukan kembali.

Fisika

Dalam pikiranku fisika adalah pelajaran paling susah yang pernah ada di dunia ini. Banyak rumus yang harus ku hafal di setiap bab nya agar dapat menjawab soal-soal yang diberikan oleh Ibu Shinta, guru fisikaku yang luar biasa membosankan. Beliau sudah cukup tua untuk terus mengajar fisika. Suaranya yang kecil kadang tak terdengar oleh seisi kelas dan bahkan membuat sebagian isi kelas mengantuk.
Seperti layaknya siang hari ini, Ibu Shinta memberikan ulangan fisika mendadak. Tentu saja seisi kelas terkejut bukan main, termasuk aku. Jangankan belajar, menyentuk buku fisika saja tidak pernah semenjak tadi malam.
"Soalnya tidak rumit kalau kalian memperhatikan apa yang Ibu jelaskan kemarin lusa." Ibu Shinta menjelaskan ketika sebagian siswa di kelasku protes akan ulangan mendadak ini.
"Emang kemarin lusa kita memperhatikan apa yang dia terangin?" Bima, teman sebangkuku, menggerutu pelan kepadaku yang sibuk membuka-buka buku fisika. "Suaranya aja nggak kedengeran."
Aku tak menggubris gerutuan Bima karena aku sibuk mencari-cari rumus pada bab yang diterangkan oleh Ibu Shinta kemarin lusa.
"Tutup buku fisika kalian, lalu masukan ke tas! Dan juga siapkan alat tulis!" Ibu Shinta lalu berkeliling kelas untuk membagian soal ulangan fisika. Seperti yang kuduga, soalku dan soal Bima berbeda sehingga aku tak dapat bekerja sama dengannya. "Soalnya sudah dapat semua kan?" seisi kelas langsung mengiyakan. "Waktunya satu jam dari sekarang. Yang sudah selesai, boleh pulang." setelah Ibu Shinta menjelaskan peraturan, suasana isi kelas langsung hening karena masing-masing siswa sibuk dengan kertas ulangan fisika.
Aku hanya dapat terbengong-bengong melihat kertas ulangan fisikaku. Tidak ada yang aku mengerti satupun. Aku memang payah dalam pelajaran ini. Tak heran, semenjak kelas satu SMA hingga kelas tiga SMA sekarang ini, nilai fisikaku di rapot tak pernah memuaskan.
Waktu terus bergulir hingga satu jam pun sudah terlewati. Setelah Ibu Shinta menyuruh seisi kelas untuk mengumpulkan kertas ulangan, satu per satu siswa pun bangkit dari duduknya untuk mengumpulkan kepada Ibu Shinta. Bima, yang selama ulangan berlangsung hanya menggaruk-garuk kepalanya pun bangkit dari duduknya, lalu mengumpulkan kertas ulangannya. Entah rumus apa yang sudah ia tulis.
Satu per satu siswa pun meninggalkan ruang kelas, hingga tinggal satu siswa yang masih berkutat dengan kertas ulangannya, yaitu aku.
"Adhyaksa, kamu sudah selesai? Waktunya sudah habis!" Ibu Shinta mengingatkanku. Tak ada pilihan lain lagi bagiku, selain bangkit dari duduk dan mengumpulkan secarik kertas ulangan fisika yang entah telah aku tulis rumus apa.
"Maaf, Bu, saya menyerah untuk ulangan kali ini." aku berkata seraya menyerahkan kertas ulanganku kepada Ibu Shinta. Guru fisikaku itu menatapku dengan matanya yang sudah sayu.
"Aduh kamu ini, dari dulu selalu begini. Sebentar lagi mau UAN, masa kamu terus menyerah." Ibu Shinta telah menjadi guru fisikaku semenjak kelas satu hingga sekarang.
"Saya benar-benar nggak bisa, Bu." ujarku.
Ibu Shinta bangkit dari duduk, lalu membereskan kertas ulangan para siswa dan memasukannya ke dalam map cokelat.
"Kamu pasti bisa, Adhy! Kalau kamu terus belajar dan berusaha, kamu pasti bisa. Kalau kamu ada yang nggak ngerti, kamu bisa tanya sama Ibu. Ibu di sini kan tugasnya mendidik siswa-siswa Ibu agar paham pelajaran ini. Nanti Ibu sedih kalau ada siswa Ibu yang nggak lulus pelajaran ini." Ibu Shinta menepuk bahuku, lalu pergi meninggalkanku sendirian di ruang kelas.
Langkah Ibu Shinta yang sudah gontai dan tak segesit guru-guru muda lainnya membuatku terenyuh. Di usianya yang semakin senja, Ibu Shinta tetap mempunyai semangat untuk membuat para siswanya menjadi pintar.

November 8, 2012

Tak Terencana

Tidak ada yang bisa menggambarkan kekesalan di hati Irene jika sudah berselisih pendapat dengan lelaki bernama Gilang. Irene yang perfeksionis dan serba terencana harus selalu bersinggungan dengan Gilang yang slengean dan serba mendadak. Jika mereka digabungkan dalam satu kelompok, dijamin tak ada yang dapat melerai mereka jika sudah saling adu pendapat.
Namun tanpa mereka sadari, perbedaan itulah yang membuat mereka saling mengisi, menemukan perbedaan yang tak ada di diri masing-masing, serta diam-diam saling memahami meskipun hati masih terasa segan untuk mengakui.
Gilang pun mencoba memadamkan api duluan yang ada di hati mereka. "Irene, Irene, apa lo nggak sadar apa yang lagi kita rasakan ini juga tanpa rencana?" tanya Gilang ketika mereka sedang seru beradu pendapat.
Irene mengernyitkan dahinya. "Maksud lo?"
"Akan gue tunjukan sesuatu yang terkadang benar walau tanpa rencana." cetus Gilang.
"Apa yang mau lo tunjukin ke gue?" tantang Irene.
Gilang menunjukkan telunjuknya ke dada. "Hati gue. Atau mungkin hati lo juga." jawab Gilang. "Kalau hati lo merasakan hal yang sama seperti yang gue rasakan, itu berarti rencana bukanlah segalanya."
Irene merasa langsung tersentak akan pernyataan Gilang. Rasa di hatinya memang sudah lama tumbuh. Rasa tak biasa jika sudah bersinggungan dengan Gilang. Meski pada awal menggubris akan kenyataan tanpa rencana ini, lama kelamaan Irene tak dapat menolak isi hatinya sendiri.
Ya, mereka saling menyukai tanpa disadari. Namun rasa suka ini tertutup oleh sebuah rencana, yakni sebuah gengsi yang mereka bangun untuk menciptakan keprofesionalan. Dari sini mereka saling mengerti akan sebuah simpul suatu kenyataan. Cinta. Mungkin rasa ini namanya cinta. Cinta memang tak dapat diterka kapan akan datang dan kepada siapa ia akan datang. Semuanya tanpa rencana dan tak perlu dengan rencana untuk mendatangkannya. Semuanya mengalir. Mengalir menjadi lebih indah.

Senyumannya

Aku hanya seorang pendatang di ranah kota padat ini, yang tidur saja selalu berpindah tempat dari malam ke malam
Tak perlu bertinggi-tinggi harapan ingin mempunyai tempat tinggal, mempunyai alas tidur saja sudah menjadi harapanku setiap harinya
Mengalunkan nada demi nada hanya demi sesuap nasi
Mungkin jika ada lebih, akan ku bangun mimpi ini
Namun apakah orang sepertiku tidak berhak mempunyai mimpi?
Apakah orang sepertiku hanya akan menjadi sampah masyarakat yang memenuhi ibukota?
Aku masih mempunyai mimpi, masih mempunyai cita-cita
Namun apakah kesempatan untuk menyabetnya akan ada untukku?
Mungkin kelak
Jika ku pesimis akan mimpi ini, langsung ku pejamkan mata dan membayangkannya
Ah, senyumannya itu yang membuatku terasa berat untuk tak bermimpi ataupun menyerah
Senyuman ibunda

November 4, 2012

Puisi Hujan part 1

November 1, 2012

You and Me

Mata Rizal tak dapat lepas dari wanita berjilbab biru tua tersebut. Wanita bernama Diah itu telah menghipnotisnya diam-diam. Gerak-geriknya, tingkah lakunya, tutur bicaranya, serta tatapan matanya telah mengantarkan Rizal kepada dunia yang sebelumnya tak pernah ia temukan. Tak ada habisnya dan tak ada bosannya ketika Rizal memperhatikan wanita ini. Diah tak secantik artis-artis ibukota namun ada hal yang membuat Rizal tidak bosan ketika memandanginya. Entahlah, mungkin itulah inner beauty.
Diah sepertinya sadar sedang diperhatikan oleh Rizal. Ia mendongak dari buku yang sedang dibacanya, lalu menoleh ke arah Rizal yang duduk di hadapannya. "Ada apa?" tanya Diah lemah lembut sembari tersenyum manis.
"Lagi sibuk baca ya?" Rizal bertanya basa-basi.
"Memangnya kenapa?" Diah balas bertanya.
"Nggak apa-apa. Seneng aja ngelihat kamu serius baca buku. Jadi tambah cantik." puji Rizal seraya tersenyum.
Diah tertawa kecil. Wajahnya bersemu merah. "Terima kasih, Tuan Rizal." ucap Diah. "Satu halaman lagi ya, Sayang. Nanti aku siapin teh hangat sama cheese cake kesukaan kamu." lanjutnya lagi.
"Silakan!" balas Rizal seraya tetap memperhatikan wanita yang telah ia nikahi setengah tahun yang lalu itu. Walau tanpa berpacaran seperti khalayak pada umumnya, Rizal tetap tak menyesal dengan caranya tersebut. "Memang indah jika kita mencari bidadari dunia dengan cara yang benar. Semuanya terasa indah. Setiap saat dan setiap waktu." Rizal berkata dalam hati.

Radar dan Diary Merah Jambu

Dua tahun sudah Saskia menjalin cinta dengan Ibnu. Sudah banyak sekali rencana indah yang ia rencanakan dengan lelaki tersebut. Mulai dari rencana pernikahan, kehidupan setelah menikah, serta akan mempunyai berapa anak setelah menikah. Ditulisnya semua rencana indah itu dalam sebuah diary merah jambu milik Saskia.
Tidak hanya itu pula, mereka juga sudah berencana usia berapa mereka akan melangkah ke pelaminan serta lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahunnya. Saskia tentunya sangat semangat akan rencana matang ini. Ibnulah satu-satunya lelaki yang menurut Saskia adalah pelabuhan terakhirnya. Sifat mereka saling melengkapi, seperti Ibnu yang sabar menghadapi Saskia yang agak cerewet. Tidak ada lelaki yang dapat mengerti Saskia sebaik Ibnu.
Namun terkadang rencana manusia tidak berbanding lurus dengan rencana-Nya. Diary merah jambu milik Saskia menghilang. Begitu pula dengan seluruh isi rencana indahnya bersama Ibnu yang tertera rapi di dalam diary tersebut. Tak ada yang lebih parah selain perpindahan tangan dari isi diary merah jambu Saskia. Ya, bukan diary-nya yang berpindah tangan tapi isi dari diary tersebut.
Ibnu memutuskan Saskia hanya karena alasan tidak masuk akal, yakni kedua orangtua Ibnu tak merestui mereka. Alasan tak masuk akan ini pulalah yang membuat Saskia termenung dan tak percaya. Hubungan mereka selama ini, selama dua tahun ini harus kandas hanya karena tak dapat restu orang tua. Sulit untuk mempercayai pada awalnya.
Sakit hati Saskia tidak hanya sampai di situ. Baru beberapa bulan setelah mereka putus, Ibnu telah menjalin cinta dengan wanita lain. Saskia sangat tidak mengerti dengan hidup ini. Ia dijungkirbalikan oleh rencananya sendiri. Semua isi di diary merah jambu itu sudah hilang dan tanpa sisa.
Mungkin itulah sepenggal kisah Saskia tiga tahun yang lalu, yang kadang ia tawakan dalam hati jika ia mengingatnya. Namun sekarang itu hanya memori yang dapat ia jadikan pengalaman. Setelah mengetik memori pahitnya tiga tahun lalu di laptop, Saskia menoleh ke arah kanannya. Terdapat seorang pria duduk sembari tersenyum manis padanya. Dialah Yoga, pria yang telah resmi menjadi suaminya sekarang. Pertemuan tak diduga setelah ia lepas dari Ibnu mengantarkan Saskia pada sebuah kesadaran. Jodoh itu tak direncanakan oleh manusia namun kembali pada-Nya.
"Lagi ngetik apa kamu?" tanya Yoga yang sedang sibuk membaca sebuah buku.
"Masa lalu." jawab Saskia sembari tersenyum.
"Mantan pacar?" tebak Yoga. Saskia hanya tertawa lepas seraya melirik suaminya itu. Yoga, seorang pria yang pada awalnya menjadi musuh bebuyutannya di dunia kerja malah dapat menjungkirbalikan hidup Saskia kembali menjadi benar. Pria bijaksana dan tegas inilah yang mengantarkan Saskia akan sebuah takdir. Takdir yang manis dengan awal yang pahit. Radarnya telah mengarah ke Yoga dan tak butuh lagi diary merah jambu.