Patah hati memang hal yang
paling tak enak di dunia. Makan tak nafsu, tidur tak nyenyak, belajar tak
konsentrasi, serta tertawa tak bisa. Hampir dua hari Alanis terjelembab dalam
kubangan patah hati yang telah dibuat oleh pacarnya dan sahabatnya sendiri.
Namun selama dua hari itu, Alanis berhasil berakting dan menyembunyikan
perasaan terdalamnya di depan Bisma, Vera, maupun teman-temannya yang lain.
“Eh, ada diskon besar loh di Oracle Butik. Katanya
baju-bajunya didatangi dari Jepang. Gimana kalau sepulang sekolah kita ke
sana?” usul Flora, salah satu teman dekat Alanis selain Vera.
“Wah boleh tuh!” Vera menyetujuinya. “Lo ikut kan, Al?”
tanya Vera kepada Alanis. Bicara tentang diskon besar, tiba-tiba ingatan Alanis
tertuju pada diskon besar dua bulan yang lalu, dimana ia, Vera, dan Flora
berbelanja tas, sepatu, serta baju secara gila-gilaan. Karena tak membawa uang
cukup, Flora meminjam uang Alanis untuk menutupi pembiayaan belanjanya. Entah
karena saking baiknya atau mungkin saking pelupanya, Alanis tak menagih hutang
Flora yang hampir mencapai lima ratus ribu rupiah.
“Tunggu sebentar deh!” Alanis mengalihkan pembicaraan.
“Kalau nggak salah dua bulan yang lalu kita pernah shopping bareng kan? Dan kalau nggak salah juga, lo,” mata Alanis
menatap Flora tajam. “meminjam uang gue dan sampai sekarang belum lo
kembaliin.” wajah Flora berubah menjadi merah padam. Bagaimana Flora tidak malu
jika ia ditagih hutang dalam saat seperti ini?
“A…ah, mmm…masa sih?” ujar Flora terbata-bata. “Se…setahu
gue udah dibayar kok.” Flora mengelak. Alanis ingat benar jika Flora belum
melunasi hutangnya.
“Kapan lo ngelunasin? Gue nggak ngerasa nerima uang dari
lo.” bantah Alanis. Vera menatap Alanis dan Flora secara bergantian. Ia
berusaha untuk menetralkan suasana. Tapi bukannya menetralkan, Vera malah lebih
cenderung membela Flora.
“Mungkin lo lupa kali, Al, kalau Flora udah bayar
hutangnya.” tukas Vera. Tatapan tajam Alanis beralih ke Vera.
“Tahu apa lo tentang hutang Flora ke gue?” sergah Alanis.
Vera mendadak terdiam mendengar sergahan Alanis. Tapi emosi Alanis segera
diturunkan oleh dirinya sendiri. Ia langsung teringat oleh perkataan Silla
tempo hari bahwa diri kita jangan mudah dikalahkan oleh emosi. “Mmm…maksud gue,
lo kan nggak tahu hutang Flora ke gue berapa, Ver, jadi lo nggak mungkin tahu
apa Flora udah bayar hutangnya atau belum.” Alanis berusaha semaksimal mungkin
untuk menurunkan nada suaranya. “Jadi gimana, Flor?” tanya Alanis dengan nada
sangat lembut kepada Flora.
Tak ada jalan lain lagi bagi Flora untuk mengakui hutangnya
kepada Alanis tapi pengakuan Flora masih dapat dikatakan sebagai ‘penjagaan image’. “Oh iya, gue lupa, Al! Pas itu
gue mau bayar tapi keburu kepakai uangnya. Nanti gue ganti uangnya ya!” cetus
Flora.
“Makasih, Flora!” balas Alanis seraya tersenyum manis.
Sepulangnya dari sekolah, Alanis tak langsung masuk ke
kamarnya. Ia duduk sejenak di sofa ruang televisi. Ditatapnya layar televisi yang
dalam keadaan tak menyala sambil senyum-senyum sendiri. Lima menit yang lalu,
Alanis menerima SMS dari Flora bahwa Flora telah men-transfer hutangnya ke
rekening milik Alanis. Ternyata Flora langsung membayar hutangnya begitu
ditagih.
“Lo pikir gue masih bodoh seperti dulu? Salah besar,
teman!” tukas Alanis dalam hati.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba terdengar
suara dari belakang Alanis sehingga membuatnya terkejut.
“Mama! Ngagetin aja deh!” ternyata ibunda Alanis yang
berujar.
“Lagian kamu ngapain senyum-senyum sendiri?” tanya Mama.
“Kayak orang nggak waras deh!”
“Enak aja! Aku masih waras sampai detik ini juga. Aku cuma
lagi senang aja.” Alanis memberitahu.
“Karena Bisma?” senyuman Alanis langsung luntur begitu
mendengar nama Bisma.
“Bukan.” jawab Alanis jutek.
“Dasar kamu ini! Oh ya, kamu sebentar lagi UAN ya?” begitu
ibunya bertanya mengenai UAN, mata Alanis langsung tertuju pada kalendar yang
terpampang di salah satu sudut dinding ruang televisi. Sekarang sudah awal
Februari sedangkah UAN diprediksi akan dilaksanakan pada awal Mei. Itu berarti Alanis
hanya memilik waktu tiga bulan untuk persiapan.
“Oh iya, Alanis baru sadar!” Alanis menggaruk-garuk
kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Itu tandanya Alanis belum mempersiapkan
segalanya.
“Kamu yakin dengan les bimbel seminggu dua kali sudah cukup
untuk mempersiapkan UAN sekaligus SPMB?” Alanis terdiam lagi. Jangankan SPMB,
persiapan UAN saja belum ada setengahnya.
“Hmm, nggak yakin sih tapi mau gimana lagi.” tukas Alanis
pasrah.
“Kalau kamu mau, Mama bisa panggilin guru privat ke rumah.
Kebetulan teman Mama ada yang jadi guru di SMA 8. Kamu tahu kan SMA itu
muridnya pintar-pintar.” Mama menerangkan.
“Jadi guru privat aku guru SMA 8?” tanya Alanis.
“Muridnya juga boleh. Kamu mau yang mana?” Alanis
mengerutkan dahinya.
“Haha, nggak perlu juga kali, Mah!” tolak Alanis sambil
tertawa.
Ternyata perkataan ibunya Alanis tidak main-main. Hari
Minggu besok, datanglah seorang pemuda tinggi berambut cepak ke rumah Alanis.
“Cari siapa ya?” tanya Alanis dari balik pagar rumahnya. Pemuda itu memakai
kemeja hitam, jins biru tua, serta membawa tas ransel di pundaknya. Di
belakangnya terdapat motor bebek warna hitam dan helm yang diletakan di atas
kaca spion motor.
“Saya mencari Ibu Wulandari.” jawabnya dengan nada datar
namun tegas.
“Mau ada perlu apa?” Alanis
masih bertanya dari balik pintu sambil waspada jangan-jangan orang itu ada
maksud tak baik.
“Eh, sudah datang ya?” tiba-tiba Mama muncul dari dalam
rumah. Mama langsung membukakan pintu pagar untuk pemuda tersebut. “Kamu Surya
kan?” tanya Mama kepada pemuda itu.
“Iya, nama saya Surya. Anda Ibu Wulandari?” pemuda yang
sepertinya bernama Surya itu balik bertanya.
“Ya, saya Ibu Wulandari. Mari silahkan masuk, Nak Surya!” setelah
memarkirkan motornya di depan garasi rumah Alanis, Surya pun digiring Mama
masuk ke dalam rumah. “Silakan duduk!” Surya pun duduk di sofa di ruang tamu.
“Nah, nak Surya mau mengajarnya dimana? Ruang tamu, ruang televisi, ruang
makan, atau taman belakang?” tawar Mama. Alanis yang sama sekali tak mengerti
dengan maksud ini semua pun hanya bisa terperangah.
“Terserah Ibu Wulandari saja.” Surya menjawab singkat
sambil tersenyum.
“Di taman belakang aja ya! Mungkin baik kalau belajar di
alam terbuka. Mari ke sana!” tanpa menghiraukan keberadaan Alanis di situ, Mama
pun mengajak Surya ke taman belakang. Karena penasaran, Alanis mengikuti mereka
dari belakang. Kebetulan di sana terdapat gazebo di dekat kolam renang. “Nggak
apa-apa kan duduknya lesehan, nak Surya?”
Surya mengangguk. “Nggak apa-apa kok!” ujarnya.
“Nah, Ibu siapin makanan ringan dulu ya! Selamat belajar!”
tukas Mama sambil menepuk bahu Alanis yang sedari tadi berdiri di belakang Mama.
“Belajar?” tanya Alanis tak mengerti. Mama hanya tersenyum
menjawab keheranan Alanis lalu pergi meninggalkan Alanis dan Surya di gazebo.
“Nama saya Surya. Nama kamu?” tanya Surya kepada Alanis
setelah Mama masuk ke rumah. Alanis menatap bingung Surya.
“Nama gue Alanis.” jawab Alanis.
“Nah, sekarang kita mau belajar apa?” tanya Surya lagi.
Alanis segera duduk di depan Surya. “Belajar mengerti.”
ucap Alanis tegas. “Gue nggak ngerti ini semua. Lo itu siapa sih?”
Surya menghela nafas. “Tadi kan gue udah bilang, nama gue
Surya. Kurang jelas?”
“Maksud gue, apa tujuan lo ke sini? Terus, ada perlu apa lo
sama nyokap gue?” Alanis memperjelas pertanyaannya.
“Emang ibu lo belum cerita?” Alanis menggeleng. “Gue akan
jadi guru privat lo sampai UAN nanti. Jadwal les kita setiap Minggu jam 1 siang
sampai jam 5 sore.”
Mata Alanis terbelalak. “Jadi lo guru SMA 8 itu?” pekik
Alanis tak percaya. Bagaimana ia dapat percaya karena Surya terlihat seperti
seumuran dengannya.
“Gue murid SMA 8, bukan guru. Apa lo nggak bisa bedain mana
murid mana guru?” koreksi Surya. Alanis hanya terdiam mendengar perkataan
Surya. “Jadi sekarang kita mau belajar apa?” tanyanya lagi.
“Sebenarnya gue nggak bodoh-bodoh amat sih sehingga butuh
guru les privat. IQ gue aja 138.” Alanis terus mengoceh tanpa menghiraukan
pertanyaan Surya yang terakhir.
“Jadi sekarang kita mau belajar apa?” Surya mengulang
pertanyaannya lagi, namun kali ini nada bicaranya agak ditinggikan sehingga
membuat Alanis terkejut.
Alanis menghela nafas, lalu berucap lemas, “Fisika.”
Selanjutnya, Alanis benar-benar dimasak oleh Surya. Entah
berapa rumus yang Surya berikan kepada Alanis sehingga membuat Alanis sakit
kepala. Dan entah sudah berapa soal fisika yang Surya berikan kepada Alanis.
“Soal yang itu, rumusnya udah gue kasih tadi. Masa lo nggak bisa juga?” hardik
Surya. Sebenarnya suara Surya sudah cukup pelan namun nada suaranya itu yang
membuat Alanis merasa dihardik.
“Gue udah pusing.” Alanis mengeluh. “Bisa kita istirahat
sebentar?” pintanya sambil memelas.
“Dari tadi lo minta istirahat terus. Baru aja kita ngerjain
enam soal. Setiap soal lo udah minta istirahat. Nanti waktu les privat ini
terbuang percuma hanya karena lo mau istirahat terus.” sergah Surya.
Alanis menyipitkan mata dan menatap ke arah Surya. “Nyokap
gue ngebayar lo buat ngajarin gue, jadi mau nggak mau lo harus menyediakan
fasilitas istirahat buat gue.” bantah Alanis sembari menyeringai.
“Memang benar, ibu lo ngebayar gue buat jadi guru les
privat lo tapi kan yang bayar gue itu ibu lo, dan bukan lo, jadi lo nggak ada
hak buat memberikan perintah ke gue.” wajah Alanis memerah karena kalah
berdebat. Mau tidak mau, ia pun harus mengerjakan soal yang telah Surya
berikan.
“Iya, gue ngerti!” cetus Alanis dengan sinis.
“Jangan membanggakan uang! Karena suatu saat, uang hanya
dapat membuat orang dibodohi oleh orang lain.” hati Alanis tersohok oleh
kata-kata Surya barusan. Hal inilah yang ia alami sekarang. Pacar dan
teman-temannya membodohi dirinya hanya karena uang.
Alanis
mengerling ke arah Surya. “Lo benar!” ujarnya, lalu melanjutkan mengerjakan
soal.
No comments:
Post a Comment