September 7, 2011

I am not a stupid girl (part 5)


Setelah membongkar kedok  palsu Bisma, Vera, dan Flora, Alanis lebih sering menyendiri di perpustakaan ketika istirahat tiba. Setiap bertemu Vera dan Flora di kelas, Alanis selalu bersikap seolah-olah tak mengenal mereka. Ketika ia bertemu Bisma di kantin pun Alanis bersikap yang sama, seperti yang ia lakukan kepada Vera dan Flora. Sedangkan Bisma hanya bisa memandang dari jauh dengan penuh penyesalan.
          Selain itu, setelah Silla mengetahui jika selama ini Surya, saudara kembarnya, telah menjadi guru les privatnya, mendadak lebih pendiam jika berhadapan dengan Alanis begitupun sebaliknya. Alanis merasa sangat tidak enak karena selama ini ia tak jujur padanya mengenai hal ini. Alanis merasa Silla marah padanya karena ketidakjujurannya itu. Karena merasa risih akan sikap diam-diaman mereka, akhirnya Alanis berusaha menjelaskan segalanya kepada Silla ketika mereka bertemu di perpustakaan.
          “Gue mau ngomong sama lo.” ujar Alanis kepada Silla. Mereka berdua pun keluar dari perpustakaan dan berbicara di lorong perpustakaan yang pada jam itu terlihat lebih sepi. Setelah mereka duduk di bangku di sekitar situ, barulah Alanis menjelaskan semuanya. Ia juga meminta maaf kepada Silla soal ketidakjujurannya, lalu ia juga meminta agar Silla tak marah lagi padanya.
          “Lo ngomong apa sih, Al?” tanya Silla tak mengerti.
          “Lo jangan marah terus sama gue. Gue kan udah minta maaf, Sil.” Alanis meminta.
          Silla tertawa pelan mendengar permintaan Alanis. “Siapa juga yang marah ke lo? Ada-ada aja sih lo.” mendengar ucapan Silla, Alanis pun kebingungan.
          “Tapi semenjak lo tahu kalau Surya mengajar les buat gue, sikap lo lebih diam ke gue. Lo nggak pernah ngajak ngobrol gue lagi, seolah-olah kita itu nggak saling kenal.” Alanis membe-berkan apa yang ia rasakan selama ini.
          “Ya ampun, gue ngelakuin hal itu karena gue tahu lo lagi patah hati, jadinya gue nggak mau ngeganggu lo. Makanya gue mau ngebiarin lo sendiri dulu.” bantah Silla.
          “Tapi kalau gue jadi lo, gue bakal kesal ke teman dekat gue jika mereka nggak jujur tentang sesuatu ke gue. Misalkan ada dua sahabat, yaitu A dan B. Si A punya rahasia tetapi ia tak menceritakannya ke B, pasti B marah dan kesal karena A tak menceritakan rahasianya itu ke B. B akan menanggap jika A tak mempercayai B sehingga rahasinya tak diceritakan kepada sahabat dekatnya itu.” Alanis berargumen.
          Silla malah tertawa mendengar argumen Alanis. “Hei, Alanis!” Silla menepuk bahu kiri Alanis. “Kita itu manusia. Kita pasti punya rahasia dan aib yang tak seharusnya diceritakan, bahkan ke sahabatnya sendiri, karena menurut gue, sedekat-dekatnya kita sama orang, tak harus semua rahasia harus diceritakan ke orang terdekat.” Silla menerangkan. “Dan juga, tak ada alasan bagi si B untuk marah ke si A karena jika B adalah teman yang baik, B tidak akan memaksa untuk mengetahui rahasia A yang tidak ingin diceritakan kepada si B.” sambungnya lagi.
          Alanis termenung dengan kata-kata Silla. Akhirnya ia mengerti tentang sesuatu, tentang persahabatan sesungguhnya. Lalu ia pun sadar jika Silla adalah sahabat yang baik. Ia menghar-gai privasi orang lain. Ia tak pernah membalas keluhan Alanis dengan amarah tetapi dengan sindiran yang membangkitkan semangat. Tetapi ia menyesal, mengapa ia baru bertemu Silla di saat seperti ini, dimana semuanya akan berpisah.
          “Makasih ya, Silla.” Alanis tiba-tiba memeluk Silla dengan erat. Silla pun tersenyum, lalu membalas pelukan Alanis.
          “Gue juga minta maaf karena gue pernah ngatain lo sebagai Gadis Oplas.” tukas Silla.
          “Mau gadis oplas, mau gadis centil, atau gadis bawel, yang penting masih punya otak yang pintar.” balas Alanis.

Inilah kali pertama Alanis bertemu Surya lagi setelah insiden ia memutuskan Bisma di depan Surya. Suasana les pun agak lebih tenang. Alanis cenderung lebih pendiam dan tak protes jika Surya memarahinya karena tak hafal rumus.
          “Rumus ini pasti ada di buku saku yang pernah lo beli itu.” oceh Surya.
          “Iya, gue lagi cari.” balas Alanis sembari membuka-buka buku saku yang pernah ia beli atas saran dari Surya. Setelah menemukan rumus yang dimaksud, ia pun mulai mengerjakan soal.
          “Oh ya, mengenai rumus-rumus ini, lo nggak perlu menghafal sampai jungkir balik. Asal lo mengerti, lo pasti bisa hafal.” saran Surya. Alanis menangguk tanpa matanya beranjak dari buku.
          Setelah waktu menunjukan pukul lima sore, Surya pun menyudahi les privatnya. Alanis pun membereskan peralatan tulis dan bukunya. “Untuk dua minggu ke depan, kita akan ngadain try out untuk soal-soal UAN. Minggu depan kita coba try out biologi dan matematika, lalu minggu berikutnya kita coba try out fisika dan kimia.” jelas Surya ketika Alanis selesai membe-reskan peralatan belajarnya. “Ada pertanyaan?”
          Alanis menggeleng. Wajahnya terangkat, lalu ia menatap Surya. “Gue mau minta maaf atas kejadian tempo hari.” Alanis mulai berkata. “Gara-gara urusan pribadi gue, lo malah jadi terlibat, malah kena fitnah.” Surya tetap terdiam sampai pada akhirnya tangis Alanis meledak. Wajah cantiknya basah akibat air mata yang ia keluarkan. Sambil menangis, Alanis mencurahkan mengenai rasa sakit hati yang ia rasakan kepada Bisma, Flora, dan Vera. Ia juga menceritakan mengenai rencana balas dendamnya kepada mereka bertiga dengan cara ikut les privat ini untuk memperpintar diri sendiri. Namun di hari balas dendam itu, ia runtuh. Mungkin di depan Vera dan Flora, Alanis dapat memenangkan pertandingan tapi tidak di depan Bisma. Ternyata ia sama sekali tidak bisa menghadapi Bisma untuk balas dendam, selain berucap kata putus. Yang mem-buat Alanis merasa kalah adalah ia menangis di depan Bisma setelah mengucapkan kata putus. Itu berarti ia kalah mental.
          “Tolong jangan nangis di depan gue!” suruh Surya kepada Alanis. Wajah Alanis terangkat. Wajahnya basah dengan air mata. Setelah mendengar perintah dari Surya untuk tidak menangis, Alanis pun menyeka air matanya dengan tangannya. “Gue agak keberatan mengenai balas dendam lo dengan cara ikut les privat untuk membuat lo pintar di depan musuh-musuh lo. Belajar dan menuntut ilmu jangan dijadikan sebagai ajang pembuktian diri bahwa kita pintar tetapi harus diresapi dari hati. Jika belajar dan ilmu hanya dijadikan ajang pembuktian diri, ilmu yang telah didapat tak akan bertahan lama.” Surya memberikan nasihat. “Yang terpenting seka-rang adalah lo serap ilmu yang lo dapat dengan baik, lalu amalkan dikehidupan sehari-hari tanpa dengan tujuan ingin membuat sadar segelintir orang atau memamerkan kemampuan diri. Kalau lo berbuat baik dengan ilmu yang lo dapat, dengan atau tanpa sadar, segelintir orang itu akan melihat perubahan dari diri lo. Diam-diam mereka akan menyadari betapa hebatnya perubahan di diri lo atau mungkin mengikuti ilmu yang telah lo bagi.” sambungnya lagi.
          “Kalau mereka nggak sadar gimana?” tanya Alanis cemas.
          “Gue udah bilang, jangan khawatir akan sadar atau tidaknya orang mengenai perubahan kita. Lo terus aja berbuat baik dengan ilmu yang udah lo dapat. Karena ilmu lo pasti akan mendapatkan apresiasi dari orang lain, dan bukan dari segelintir orang tersebut.” ujar Surya lagi. “Segelintir orang itu adalah manusia yang mempunyai hati dan rasa, serta menyadari akan sebuah perubahan.”
          Senyum Alanis mulai terbit. Ia merasa tenang akan perkataan Surya barusan. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya jika ia tak bertemu Surya dan Silla. Ia benar-benar bersyukur Tuhan telah mempertemukan dia dengan sepasang saudara kembar yang pintar itu.
          “Makasih ya, mulai sekarang gue mau konsentrasi ke UAN.”
          Semakin hari, Alanis semakin sibuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi UAN maupun SPMB. Bimbel yang biasanya ia ikuti dua kali seminggu, sekarang ia ikuti setiap hari, dari Senin hingga Jumat. Belum lagi Sabtu ia sibuk pengayaan dan Minggu harus les privat bersama Surya. Kesibukan Alanis telah membuat ia melupakan masalahnya dengan Bisma, Vera, dan Flora. Alanis juga sudah bisa bersikap normal dan netral jika bertemu salah satu di antara mereka bertiga.
          Waktu terus berjalan hingga pada akhirnya minggu yang dinanti-nanti pun datang. Alanis grogi bukan main begitu ia memasuki ruangan, tempat dimana ia akan mengerjakan soal UAN. Untungnya Silla selalu ada untuk memberikan dukungan.
          “Jangan grogi, Al! Gue yakin kita bisa lulus dengan maksimal.” Silla menyemangati Alanis.
          Alanis pun menangguk mengerti. “Makasih ya, Sil.” ujar Alanis. “Lo juga semangat!” Alanis balas menyemangati Silla.

No comments:

Post a Comment