September 7, 2011

I am not a stupid girl (part 3)


Baru empat jam bertemu dengan Surya, niat Alanis ikut les privat langsung berubah. Awalnya ia ingin lulus UAN tapi sekarang ia ingin menunjukan kepada Bisma dan yang lainnya bahwa Alanis tak sebodoh yang mereka kira. Memang niat yang tidak baik namun hati Alanis yang ingin balas dendam tak dapat dibendung. Tapi cara balas dendam Alanis yang satu ini sudah dimasak dengan intelektual sang Alanis.
          “Eh, kita duduk di situ aja yuk!” ajak Flora kepada Alanis dan Vera ketika mereka sampai di kelas bimbel. Tempat duduk yang disarankan Flora terletak di pojok belakang kelas. Tempat itu memang cocok untuk siswa yang malas ikut bimbel karena mereka dapat main ponsel, mengobrol, ataupun tidur di kelas.
          “Boleh!” Vera mengiyakan saran Flora. Dengan langkah agak malas, Alanis mengikuti kedua temannya itu. “Al, duduk sini!” ajak Vera sambil menunjuk kursi di sebelah kursi yang ia duduki. Sebenarnya Alanis agak malas duduk dekat mereka. Mata Alanis berpencar ke sekitar ruangan, mencari tempat duduk yang lebih layak. Lalu matanya langsung tertuju pada bangku kosong di sebelah Silla. Kebetulan ia dan Silla satu kelas di les bimbel.
          “Gue duduk di situ aja!” tolak Alanis. “Kalau dipojok takut ngantuk.” tanpa menunggu temannya mencegah, Alanis segera duduk di sebelah Silla. “Hai!” sapa Alanis kepada Silla yang sedang membaca buku. Kepala Silla mendongak menatap Alanis. “Gue boleh duduk di sebelah lo nggak?” pinta Alanis sambil matanya melirik ke arah bangku kosong di sebelah Silla.
          Silla diam sejenak lalu menanggukan kepalanya pelan. Dengan senang hati, Alanis duduk di sebelah Silla. Sepanjang les bimbel berlangsung, Alanis tidak henti-hentinya melirik ke arah Silla, lalu beralih ke buku catatan Silla, mencoba mengetahui apa yang Silla tulis. Sebenarnya Silla menyadari akan perbuatan Alanis, namun ia hanya diam saja, seolah tak terjadi apa-apa.
          “Silla!” panggil Alanis seusai les bimbel. Silla menoleh ke arah Alanis yang berada sekitar satu meter di belakangnya. “Gue mau nanya sesuatu.” Alanis berjalan menghampiri Silla.
          “Apa?” tanya Silla. Satu alisnya terangkat.
          “Soal matematika tadi ada yang nggak gue ngerti. Kalau lo nggak keberatan, lo bisa ajarin gue nggak?” pinta Alanis sambil menggigit bibir bawahnya.
          Silla menyipitkan matanya. “Kenapa lo nggak nanya guru yang tadi aja?”
          “Gue nggak ngerti cara yang dia ajarin. Mungkin dengan cara lo, gue bisa lebih mengerti.” Alanis menjelaskan. “Besok bisa kita bahas di kelas?” pintanya lagi. Hampir lima detik Silla bimbang dan pada akhirnya ia mengangguk setuju. “Makasih, Silla.”
          Keesokan harinya, ketika jam istirahat sekolah, Alanis pun belajar bersama Silla di kelas. Supaya tak terlalu merepotkan Silla, Alanis sengaja membawa dua kotak bekal nasi goreng ke sekolah, yang satu untuk dirinya dan yang satu lagi untuk Silla. “Jadi lo nggak usah khawatir nggak akan makan siang karena gue udah nyiapin segala yang lo butuhin.” ujar Alanis sehingga membuat Silla terperangah. “Nah, ini soal yang kemarin gue tanyain!” Alanis menyerahkan buku yang tercantum soal matematika yang tak bisa ia jawab.
          Peristiwa Alanis belajar bersama Silla cukup mengundang perhatian seisi kelas karena selama ini Alanis sangat tidak akrab dengan Silla. Hal ini pun mencuri perhatian Vera, Flora, dan Bisma. Mereka bertiga tahu benar jika Alanis sangat tidak menyukai Silla, begitupun sebaliknya.
          “Gue sendiri nggak tau kenapa Alanis bisa jadi kayak gini, Ma.” ucap Flora kepada Bisma ketika mereka makan siang di kantin.
          “Gue akan temuin dia sekarang.” Bisma bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke kelas Alanis. Di dalam kelas, ia menemukan Alanis sedang duduk di sebelah Silla sambil menulis. “Hai, Sayang!” sapa Bisma yang langsung menghampiri Alanis.
          Alanis dan Silla kompak mendongakan kepala. “Oh, hai!” Alanis membalas sapaan Bisma dengan ramah, seolah tak pernah terjadi peristiwa hatinya hancur berkeping-keping karena perselingkuhan Bisma dengan Vera.
          “Kamu kok nggak makan sih? Emang nanti nggak lapar?” tanya Bisma, lalu duduk di depan Alanis.
          “Aku bawa makan kok.” jawab Alanis sembari menunjuk kotak makan berwarna oranye yang terletak di depan Alanis. Mata Bisma tertuju pada kotak makan oranye tersebut, lalu beralih ke Alanis lagi.
          “Oh gitu ya?” Bisma sudah tak bisa berkutik lagi.
          “Oh ya, kalau kamu udah nggak ada keperluan, aku mau lanjutin belajar lagi sama Silla.” secara tak langsung atau secara halusnya, Alanis mencoba mengusir Bisma dari situ.
          “Yaudah deh!” Bisma menyadari pengusiran halus Alanis. Ia bangkit dari duduknya. “Selamat belajar ya!”
          “Iya!” Alanis terus memamerkan senyuman palsunya kepada Bisma.
          Setelah Bisma pergi, Silla memberanikan diri bicara kepada Alanis. “Tumben pacar sendiri dibiarkan pergi begitu aja. Biasanya dipelukin terus.” sindir Silla.
          “Karena gue udah bosan.” Alanis berkata dengan singkat, lalu menatap Silla. Tiba-tiba senyumannya mendadak luntur. “Loh, kok bibir lo pucat, Sil?” Silla langsung salah tingkah. “Lo lapar ya? Yaudah kita makan dulu deh!”
          “Gu…gue nggak apa-apa. Lanjutin aja belajarnya!” tolak Silla.
          “Tapi kalau lo sakit magh gimana? Nanti salah gue deh!” sifat berlebihan Alanis pun akhirnya keluar.
          Silla mengerling tajam ke arah Alanis. “Lanjutin belajarnya!” Alanis tak bisa berkata apa-apa lagi karena Silla telah menunjukan kerlingan tajamnya.
          Tanpa angin dan hujan, Silla tak masuk sekolah keesokan harinya. Keringat dingin mendadak menyelimuti diri Alanis. Hatinya gundah dan menerka apakah Silla tak masuk sekolah gara-gara sakit karena kemarin ia telat makan siang akibat harus mengajari dirinya matematika. Detik itu juga, ia berniat menjenguk Silla sepulang sekolah.
          Dengan berbekal alamat Silla dari ketua kelasnya, Alanis pun benar-benar membulatkan tekadnya untuk menjenguk Silla. Hal ini pun diketahui oleh Vera, Flora, dan Bisma. Sebelum Alanis pergi ke rumah Silla, Bisma terlebih dahulu mencegahnya.
          “Ngapain sih kamu jenguk dia segala? Apa kamu lupa perkataan kasar dia dulu ke kamu?” Bisma mencoba menghalangi Alanis dengan cara membangkitkan memori kelam antara Silla dan Alanis.
          Alanis terdiam mendengar perkataan Bisma. Di benaknya masih teringat jelas perkataan tak mengenakan yang terlontar dari mulut Silla langsung untuk dirinya. Ketika awal kelas tiga dimana Silla dan Alanis tergabung dalam satu kelompok tugas Fisika, kejadian itu pun terekam. Alanis yang kala itu lebih mementingkan update fashion dan gosip selebritis di majalah, menyepelekan dan masa bodoh akan tugas kelompok Fisika sehingga membuat Silla geram, lalu dengan lantang Silla mengatai Alanis sebagai ‘Gadis Oplas’ alias ‘Gadis Opreasi Plastik’ langsung di depan wajah Alanis. Walaupun kejadian itu tidak di depan umum—hanya Alanis dan Silla yang berada di TKP—tapi Alanis langsung mengadu kepada Bisma, Vera, dan Flora akan perkataan Silla sehingga membuat seluruh orang tahu jika secara tak langsung Silla telah menyinggung perasaan Alanis.
          “Tapi itu kan dulu. Sekarang semua udah baik-baik aja kok.” Alanis mencoba membela Silla di depan Bisma.
          “Tapi, Say…” potong Bisma.
          “Eh, aku harus buru-buru ke rumah Silla nih! Bye!” Alanis berlalu begitu saja, meninggalkan Bisma sendirian yang masih terperangah.
          Setelah menerjang jalanan ibu kota yang macet, ditambah ia harus mencari alamat Silla di daerah yang ia tidak ketahui, akhirnya ia sampai di depan rumah sederhana bercat putih dan berpagar cokelat. Halaman depannya tak begitu luas, namun terdapat pohon mangga di sudut halaman. Pintu pagarnya terbuka sedikit sehingga membuat Alanis berani masuk hingga ke teras rumah tersebut.
          “Permisi!” Alanis berucap sembari mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Ditunggu selama sepuluh detik, tak ada sahutan dari dalam. “Permisi!” kali ini suara Alanis agak ditinggikan.
          “Iya, tunggu sebentar!” akhirnya ada sapaan juga dari dalam. Tak lama kemudian, pintu pun terbuka dan muncul sesosok wanita yang kira-kira berusia sekitar 40 tahunan memakai baju abu-abu dan rok span hingga mata kaki. Rambutnya ditutupi oleh kerudung warna putih.
          “Permisi, Bu!”
          “Iya, ada apa ya?” tanya wanita tersebut dengan logat seperti orang Jawa.
          “Apa benar ini rumahnya Silla Paramitha?”
          “Iya, benar! Adek siapa ya?”
          “Perkenalkan,” Alanis mengulurkan tangan kanannya. “nama saya Alanis. Saya teman sekelasnya Silla.” wanita itu pun membalas uluran tangan Alanis.
          “Oh, teman sekelasnya Silla? Mari nak Alanis, silakan masuk!” dengan ramah, Alanis dipersilakan masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
          “Hari ini Silla nggak masuk sekolah. Saya curiga dia sedang sakit hari ini, jadi saya mau jenguk dia.” Alanis mengatakan maksudnya datang ke rumah Silla.
          “Iya benar, Silla mengalami demam dari kemarin malam, jadinya hari ini dia ndak bisa masuk sekolah.” wanita yang lambat laun diketahui sebagai ibunya Silla pun membenarkan dugaan Alanis.
          “Oh, gitu? Terus, keadaan dia sekarang gimana?” tanya Alanis.
          “Tadi pagi baru saja dari puskesmas, mungkin obatnya belum bereaksi.” Ibu Silla menjawab. Keheningan pun tercipta karena Alanis tak mempunyai topik lain. Lalu pandangannya tertuju pada kantung plastik hitam yang sedari tadi ia bawa untuk dijadikan bahan jengukan untuk Silla.
          “Oh ya, Bu, ini ada buah dari saya untuk Silla dan keluarga! Semoga aja dengan buah ini daya tahan tubuh Silla bisa cepat meningkat!” Alanis menyerahkan kantung plastik hitam yang berisi jeruk itu kepada Ibu Silla.
          “Wah, merepotkan nak Alanis saja!” Ibu Silla terlihat agak sungkan.
          “Nggak apa-apa kok!”
          “Makasih ya nak Alanis!” Alanis pun tersenyum tulus. “Kalau gitu, Ibu beritahu Silla dulu ya!”
          “Kalau Silla lagi tidur, mendingan nggak usah dibangunin, Bu.”
          “Iya!” Ibu Silla pun meninggalkan Alanis di ruang tamu sendirian. Baru beberapa saat Alanis sendirian di ruang tamu, mendadak hujan turun.
          Alanis mengengok lewat jendela. “Yaa, kok hujan sih?” seketika itu pula, terdengar suara motor memasuki halaman rumah Silla. Lalu terdengar langkah kaki berjalan memasuki rumah Silla dan muncullah seorang pemuda tinggi yang tak asing lagi bagi Alanis. Ternyata pemuda itu adalah Surya. Mereka berdua saling terkejut.
          “Elo?!” pekik mereka berdua bersamaan. Seragam sekolah Surya pun agak basah karena terkena hujan. Kemeja putihnya pun menjadi transparan sehingga membuat otot lengan Surya terlihat jelas. Mendadak hati Alanis terlonjak. Untuk menutupinya, Alanis memalingkah wajahnya dari Surya sehingga pandangannya tertuju pada jam dinding yang tepat lurus di depannya.
         “Ngapain lo di sini?” tanya Alanis mau tahu tanpa menoleh ke arah Surya yang berdiri tak jauh dari sebelahnya.
          “Seharusnya gue yang nanya, ngapain lo di rumah gue?” mata Alanis terbelalak, lalu wajahnya terpaling kepada Surya lagi.
          “Rumah lo?” Alanis semakin tak mengerti. Belum sempat Alanis melanjutkan perkataan-nya, ibunya Silla pun muncul kembali sambil membawa cangkir.
          “Loh, kamu udah pulang?” tanya Ibu Silla kepada Surya.
          “Iya nih, Bu!”
          “Silakan diminum tehnya, nak Alanis!” Alanis pun menangguk pelan. Setelah meletakkan cangkir yang berisikan teh di meja, Surya pun mencium tangan Ibu Silla.
          “Aku ganti baju dulu ya, Bu. Keujanan tadi.” Surya pun meninggalkan Alanis dan Ibu Silla tanpa menoleh ke arah Alanis lagi.
          Setelah Ibu Silla duduk kembali, Alanis pun memberanikan diri bertanya. “Yang tadi itu siapa ya, Bu?” tanya Alanis hati-hati.
          “Oh, itu Surya, saudara kembarnya Silla.”
          “Saudara kembar Silla?” pekik Alanis terkejut.
          “Memangnya nak Alanis ndak tahu kalau Silla punya saudara kembar?”
          Alanis menggeleng. “Aku baru kenal Silla pas kelas tiga, jadi belum tahu seluk beluk keluarga Silla lebih dalam.” Alanis beralasan.
          “Oh!” tukas Ibu Silla. “Oh ya, nak Alanis, Silla nya sedang tidur. Mungkin gara-gara efek obat. Apa mau Ibu bangunkan saja?” tawarnya.
          “Nggak usah, Bu! Kasihan Silla, mendingan dia istirahat. Aku boleh numpang nunggu sampai hujan reda di sini?” pinta Alanis.
          “Boleh saja, nak!” ketika itu pula, telepon rumah Silla berdering. Karena telepon tak diletakkan di ruang tamu, melainkan di ruang keluarga, Ibu Silla pun harus meninggalkan Alanis sendirian lagi di ruang tamu. Tapi kali ini Alanis tak sendirian karena Surya tiba-tiba muncul dan duduk di sofa yang tadi diduduki oleh Ibu Silla.
          Kali ini Surya tidak memakai seragam lagi, melainkan memakai kaos hitam dan celana panjang hitam. “Jadi lo ini teman sekolah Silla?” tanyanya dengan lagak seperti polisi yang sedang menginterograsi pencuri.
          “Emang lo nggak sadar kalau gue itu satu sekolah sama saudara kembar lo?”
          “Sadar sih tapi gue nggak nyangka kalian sedekat ini.” ujar Surya sambil melipat kedua tangannya di dada.
          “Nggak dekat juga. Kita cuma satu kelas.” koreksi Alanis.
          “Oh!”
          “Lalu, apa nyokap lo dan Silla tahu kalau selama ini lo itu guru privat gue?” Surya mengerling begitu Alanis bertanya seperti itu.
          “Ngapain gue cerita-cerita?” celetuk Surya ketus. Gaya Surya dan Silla memang mirip; ketus, dingin, dan pintar. Jadi tak salah lagi jika mereka berdua adalah saudara kembar.
          Langit mulai gelap. Bukan karena mendung saja melainkan matahari telah selesai bertugas hari ini sehingga harus kembali ke ufuk barat. Hujan pun sudah mulai reda dan inilah waktu yang tepat bagi Alanis untuk pamit pulang. “Kayaknya hujan udah reda, Bu. Saya mau pamit pulang.” Alanis meminta izin pamit kepada Ibu Silla.
          “Aduh, nak Alanis, jalan depan biasanya banyak kubangan air setelah hujan. Lagian, sekarang hari sudah mulai gelap. Gimana kalau nak Alanis diantar sama kakaknya Silla sampai ke jalan raya?” tawar Ibu Silla. Dengan cepat Alanis menggeleng.
          “Nggak usah, Bu. Biar aku pulang sendiri aja.” tolak Alanis gigih.
          “Nggak apa-apa kok.” belum sempat dicegah, Ibu Silla telah memanggil Surya dan Surya pun muncul. “Tolong anterin nak Alanis sampai jalan raya ya! Kamu tahu kan, di depan situ banyak kubangan air, terus sudah maghrib sekarang.” tanpa berpikir panjang, apalagi menolak, Surya pun mengiyakan perintah ibunya.
          Dan pada akhirnya, Alanis pun dibonceng oleh Surya. Karena jalanan di sekitar situ banyak yang berlubang, tak jarang jarak duduk antara Alanis dan Surya tak terelakan dekatnya. Samar-samar ia dapat mencium wangi-wangian dari tubuh Surya jika motor Surya bergoncang karena melindas jalanan yang berlubang. Bayangkan saja bau petrichor dapat dikalahkan oleh wewangian dari tubuh Surya. Akal sehat Alanis mulai hilang. Ia pun menggelengkan kepalanya cepat untuk mengembalikan akal sehatnya.
          Untung saja perjalanan yang nyaris merenggut akal sehat Alanis pun berakhir. Entah harus lega atau kecewa yang dirasa Alanis. “Lo tau jalan pulang?” sindir Surya ketika Alanis telah turun dari motornya.
          “Gue bisa sampai sini dan pastinya gue tau jalan pulang.” balas Alanis ketus.
          “Iya tau deh, cewek yang ber-IQ 138!” Alanis menatap Surya sinis, lalu Surya membalas tatapannya sehingga membuat Alanis kelabakan.
          “Y…yaudah, sana pulang!” usir Alanis.
          “Gue mau memastikan lo naik kendaraan yang benar.” tak lama kemudian, Alanis mem-berhentikan taksi.
          Sebelum ia masuk ke taksi, ia berujar, “Selama ada alat transportasi ini, gue nggak akan nyasar.” sebelum Surya membalas perkataannya, Alanis masuk terlebih dahulu ke taksi. Setelah itu, taksi yang ditumpangi Alanis pun melaju.
          Di situ Surya hanya bisa terperangah. “Benar-benar cewek pintar!” cetusnya.

No comments:

Post a Comment