September 7, 2011

I am not a stupid girl (part 6-final)


Ketulusan Alanis dalam menuntut ilmu ternyata membuahkan hasil yang manis. Alanis berhasil lulus UAN dengan nilai NEM yang tidak begitu rendah. Dari enam mata pelajaran, Alanis mendapatkan nilai NEM sebesar 54,67. Walaupun nilai NEM tak diperhitungkan, Alanis tetap saja merasa senang akan hasil yang maksimal itu. Sekarang ia tinggal tunggu diwisuda dan mengikuti tes SPMB.
          “Gue grogi, Al.” ucap Silla ketika mereka berada di acara wisuda. Silla adalah siswi di sekolah Alanis yang mendapatkan NEM tertinggi sehingga ia akan dipanggil untuk naik ke atas panggung sebagai siswi teladan. Orangtua Silla juga diundang dalam acara wisuda.
          “Nggak usah grogi. Lo cantik kok.” puji Alanis kepada Silla. Hari ini Silla memakai kebaya kuning gading yang bermode sederhana.
          “Kalau gue cantik, apalagi lo.” balas Silla. Alanis memang selalu tampil luar biasa. Tubuhnya dibalut kebaya biru tua yang terbuat dari bahan brokat dan satin. Rambutnya disanggul rapi. Ia mengenakan high heels biru tua juga, sesuai dengan kebayanya.
          “Gue udah biasa kayak gini. Lo kan jarang-jarang berdandan.” Silla memincingkan matanya ke arah Alanis. “Jangan marah dong!”
          “Dasar lo ini! Yaudah lo tunggu di luar aja bareng nyokap dan kakak gue.” mata Alanis terbelalak begitu Silla bilang kata-kata ‘kakak gue’.
          “Kakak lo?” tanya Alanis terkejut. “Kan yang diundang nyokap dan bokap lo? Kenapa yang datang malah kakak lo?”
          “Bokap gue lagi dinas keluar kota. Kebetulan Surya nggak ada acara apa-apa, jadi dia nganterin nyokap ke sini deh!” terang Silla.
          Alanis termenung sebentar. Ayahnya Silla dinas keluar kota? Selama berteman dengan Silla, Alanis tak tahu apa pekerjaan ayah Silla. “Sil, kalau boleh tahu ya…tapi lo jangan marah!” pinta Alanis.
          “Apaan?”
          “M…sebenarnya, bokap lo kerja apa?” tanya Alanis. “Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa.”
          “Oh, itu? Bokap gue seorang dosen.” Alanis mengerjapkan mata saking tak percayanya.
          “Dosen? Dimana?”
          “Di sebuah universitas lah.” Alanis tak menyangka jika ayahnya Silla dan Surya adalah seorang dosen.
          “Seharusnya Flora dan Vera tahu apa pekerjaan bokap lo biar mereka bisa ngaca.” tukas Alanis ketus.
          “Nggak usah diungkit lagi!” pinta Silla.
          Setelah berbincang dengan Silla di belakang panggung, Alanis pamit untuk kembali ke tempat duduk. Baru saja ia keluar dari balik panggung, Alanis langsung menemukan keberadaan Surya di tengah orang banyak. Hari itu Surya tampak luar biasa tampan walaupun hanya mengenakan kemeja batik lengan pendek, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel. Sudah hampir satu setengah bulan Alanis tak bertemu dengan Surya. Pertemuan terakhir mereka adalah seminggu sebelum UAN berlangsung. Cukup lama juga mereka tak bertemu. Tanpa disadari, Alanis begitu merindukannya.
          “Ya ampun, jantung gue kenapa sih?” cetus Alanis dalam hati. Mendadak jantungnya berdegup kencang ketika matanya tertuju pada Surya. Belum sempat ia kembali ke tempat duduk, tatapan mereka saling bertemu. Tanpa diduga, Surya tersenyum padanya dan menghampirinya. Rasanya Alanis ingin pingsan di tempat.
          “Udah ketemu Silla di balik panggung ya?” tanya Surya.
          “U…udah.” jawab Alanis terbata-bata. Nafasnya mendadak tak beraturan.
          “Oh ya, gimana NEM lo? Dapat nilai berapa?” tanya Surya lagi.
          “Alhamdullilah, memuaskan.” Alanis menjawab tanpa memberitahukan berapa nilainya. Tatapan Alanis pun tertuju pada Surya. Setelah UAN berlangsung, otomatis Surya sudah tak akan mengajar les privat untuk dirinya lagi. Itu berarti ia tak akan bertemu Surya lagi setiap akhir pekan.
        “Bagus deh kalau memuaskan.” ujar Surya sambil tersenyum. “Berarti gue nggak punya hutang besar ke ibu lo.” Alanis menatap Surya sedih. Ia masih sangsi akan perasaannya terhadap Surya. Entah rasa sayang atau hanya rasa kagum.
          “Surya.” panggil Alanis. Mereka berdua saling bertatapan. “Kayaknya gue suka sama lo deh!” akhirnya pernyataan itu meluncur begitu saja dari mulut Alanis. Sepertinya Alanis sudah tak dapat mengontrol mulutnya lagi untuk jujur kepada Surya. “T…tapi gue masih sangsi sama perasaan ini. Gue nggak tau suka sama lo itu gara-gara apa. Apa mungkin hanya kagum atau…” potong Alanis. Cukup lama juga Alanis tak menamatkan kalimatnya itu. “benar-benar sayang.” sambungnya lagi.
          Sejujurnya hati Surya juga terkejut akan pernyataan dari Alanis seperti ini. Selama ini Surya hanya menanggap dirinya sebagai pungguk yang merindukan sang bulan jika ia menyukai Alanis. Tetapi sekarang peribahasa itu pecah. Ternyata sang bulan juga merindukan pungguk.
          “Alanis,” akhirnya setelah sekian lama Surya mengenal Alanis, baru kali ini ia menyebut nama Alanis secara jelas. “sebelumnya gue mau bilang makasih banget karena lo suka sama gue. Gue juga terkejut. Tapi,” inilah yang dikhawatirkan oleh Alanis, mendengar kata ‘tapi’. “tapi gue bingung mesti ngerespon apa. Gue sendiri juga belum pernah mengalami hal ini.”
          “Hah? Lo belum pernah pacaran?!” pekik Alanis tak percaya. “Masa sih?”
          “Kalau gue pacaran, gue nggak bakal seperti ini sekarang.” cetus Surya. “Gue orangnya terlalu konsisten. Jika gue punya pilihan A dan B, masing-masing dari pilihan itu ingin gue dapat, gue harus memilih, mana yang prioritas dan mana yang bukan. Karena jika kedua pilihan itu gue jalanin secara bersamaan, pasti salah satu pilihannya ada yang terbengkalai. Maka dari itu, gue fokus untuk belajar dan meraih pendidikan tinggi sebelum gue harus memilih seorang wanita.” mata Alanis berkaca-kaca mendengar ucapan Surya.
          “Jadi alasan lo nggak punya cewek…”
          “Gue mau menemukan yang terbaik. Gue nggak mau ganti-ganti pasangan seperti orang lain. Gue mau, sekali gue pilih, itulah pilihan pertama dan terakhir gue.” wajah Alanis memerah.
          So sweet banget sih lo!” puji Alanis.
          “Masa sih? Perasaan wajar-wajar aja ah.” pungkas Surya.
          Alanis tersenyum lebar. “Jadi, apa tanggapan lo mengenai pernyataan gue tadi?” Alanis kembali ke topik.
         “Gue nggak mau nyakitin lo sekarang dengan cara mengumbar-umbar janji. Kita lihat saja nanti. Jika kita jodoh, kita pasti bersama walaupun gue di kutub utara dan lo di kutub selatan. Let it flow.” Surya menanggapi.
          “Oke deh, Tuan Tampan! Semoga aja gue yang pertama dan yang terakhir buat lo.” harap Alanis seraya mengedipkan sebelah matanya kepada Surya. Ternyata hal ini dapat membuat Surya salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan.
          “Oh ya, ibu lo SMS gue kemarin! Dia puas akan kerja keras gue jadi guru les privat lo. Sepertinya kontrak gue bakal diperpanjang deh jadi guru les privat lo.” Alanis langsung mem-belalakan matanya.
          “Serius lo?” Alanis benar-benar tak percaya.
          “Tanya aja ke ibu lo!” ingin rasanya Alanis meloncat dan memeluk Surya karena saking girangnya. Sepertinya Alanis akan berusaha keras supaya Surya dapat memilihnya. Tetapi dengan cara yang berintelektual tentunya.

No comments:

Post a Comment