November 10, 2012

Fisika

Dalam pikiranku fisika adalah pelajaran paling susah yang pernah ada di dunia ini. Banyak rumus yang harus ku hafal di setiap bab nya agar dapat menjawab soal-soal yang diberikan oleh Ibu Shinta, guru fisikaku yang luar biasa membosankan. Beliau sudah cukup tua untuk terus mengajar fisika. Suaranya yang kecil kadang tak terdengar oleh seisi kelas dan bahkan membuat sebagian isi kelas mengantuk.
Seperti layaknya siang hari ini, Ibu Shinta memberikan ulangan fisika mendadak. Tentu saja seisi kelas terkejut bukan main, termasuk aku. Jangankan belajar, menyentuk buku fisika saja tidak pernah semenjak tadi malam.
"Soalnya tidak rumit kalau kalian memperhatikan apa yang Ibu jelaskan kemarin lusa." Ibu Shinta menjelaskan ketika sebagian siswa di kelasku protes akan ulangan mendadak ini.
"Emang kemarin lusa kita memperhatikan apa yang dia terangin?" Bima, teman sebangkuku, menggerutu pelan kepadaku yang sibuk membuka-buka buku fisika. "Suaranya aja nggak kedengeran."
Aku tak menggubris gerutuan Bima karena aku sibuk mencari-cari rumus pada bab yang diterangkan oleh Ibu Shinta kemarin lusa.
"Tutup buku fisika kalian, lalu masukan ke tas! Dan juga siapkan alat tulis!" Ibu Shinta lalu berkeliling kelas untuk membagian soal ulangan fisika. Seperti yang kuduga, soalku dan soal Bima berbeda sehingga aku tak dapat bekerja sama dengannya. "Soalnya sudah dapat semua kan?" seisi kelas langsung mengiyakan. "Waktunya satu jam dari sekarang. Yang sudah selesai, boleh pulang." setelah Ibu Shinta menjelaskan peraturan, suasana isi kelas langsung hening karena masing-masing siswa sibuk dengan kertas ulangan fisika.
Aku hanya dapat terbengong-bengong melihat kertas ulangan fisikaku. Tidak ada yang aku mengerti satupun. Aku memang payah dalam pelajaran ini. Tak heran, semenjak kelas satu SMA hingga kelas tiga SMA sekarang ini, nilai fisikaku di rapot tak pernah memuaskan.
Waktu terus bergulir hingga satu jam pun sudah terlewati. Setelah Ibu Shinta menyuruh seisi kelas untuk mengumpulkan kertas ulangan, satu per satu siswa pun bangkit dari duduknya untuk mengumpulkan kepada Ibu Shinta. Bima, yang selama ulangan berlangsung hanya menggaruk-garuk kepalanya pun bangkit dari duduknya, lalu mengumpulkan kertas ulangannya. Entah rumus apa yang sudah ia tulis.
Satu per satu siswa pun meninggalkan ruang kelas, hingga tinggal satu siswa yang masih berkutat dengan kertas ulangannya, yaitu aku.
"Adhyaksa, kamu sudah selesai? Waktunya sudah habis!" Ibu Shinta mengingatkanku. Tak ada pilihan lain lagi bagiku, selain bangkit dari duduk dan mengumpulkan secarik kertas ulangan fisika yang entah telah aku tulis rumus apa.
"Maaf, Bu, saya menyerah untuk ulangan kali ini." aku berkata seraya menyerahkan kertas ulanganku kepada Ibu Shinta. Guru fisikaku itu menatapku dengan matanya yang sudah sayu.
"Aduh kamu ini, dari dulu selalu begini. Sebentar lagi mau UAN, masa kamu terus menyerah." Ibu Shinta telah menjadi guru fisikaku semenjak kelas satu hingga sekarang.
"Saya benar-benar nggak bisa, Bu." ujarku.
Ibu Shinta bangkit dari duduk, lalu membereskan kertas ulangan para siswa dan memasukannya ke dalam map cokelat.
"Kamu pasti bisa, Adhy! Kalau kamu terus belajar dan berusaha, kamu pasti bisa. Kalau kamu ada yang nggak ngerti, kamu bisa tanya sama Ibu. Ibu di sini kan tugasnya mendidik siswa-siswa Ibu agar paham pelajaran ini. Nanti Ibu sedih kalau ada siswa Ibu yang nggak lulus pelajaran ini." Ibu Shinta menepuk bahuku, lalu pergi meninggalkanku sendirian di ruang kelas.
Langkah Ibu Shinta yang sudah gontai dan tak segesit guru-guru muda lainnya membuatku terenyuh. Di usianya yang semakin senja, Ibu Shinta tetap mempunyai semangat untuk membuat para siswanya menjadi pintar.

No comments:

Post a Comment