November 8, 2012

Tak Terencana

Tidak ada yang bisa menggambarkan kekesalan di hati Irene jika sudah berselisih pendapat dengan lelaki bernama Gilang. Irene yang perfeksionis dan serba terencana harus selalu bersinggungan dengan Gilang yang slengean dan serba mendadak. Jika mereka digabungkan dalam satu kelompok, dijamin tak ada yang dapat melerai mereka jika sudah saling adu pendapat.
Namun tanpa mereka sadari, perbedaan itulah yang membuat mereka saling mengisi, menemukan perbedaan yang tak ada di diri masing-masing, serta diam-diam saling memahami meskipun hati masih terasa segan untuk mengakui.
Gilang pun mencoba memadamkan api duluan yang ada di hati mereka. "Irene, Irene, apa lo nggak sadar apa yang lagi kita rasakan ini juga tanpa rencana?" tanya Gilang ketika mereka sedang seru beradu pendapat.
Irene mengernyitkan dahinya. "Maksud lo?"
"Akan gue tunjukan sesuatu yang terkadang benar walau tanpa rencana." cetus Gilang.
"Apa yang mau lo tunjukin ke gue?" tantang Irene.
Gilang menunjukkan telunjuknya ke dada. "Hati gue. Atau mungkin hati lo juga." jawab Gilang. "Kalau hati lo merasakan hal yang sama seperti yang gue rasakan, itu berarti rencana bukanlah segalanya."
Irene merasa langsung tersentak akan pernyataan Gilang. Rasa di hatinya memang sudah lama tumbuh. Rasa tak biasa jika sudah bersinggungan dengan Gilang. Meski pada awal menggubris akan kenyataan tanpa rencana ini, lama kelamaan Irene tak dapat menolak isi hatinya sendiri.
Ya, mereka saling menyukai tanpa disadari. Namun rasa suka ini tertutup oleh sebuah rencana, yakni sebuah gengsi yang mereka bangun untuk menciptakan keprofesionalan. Dari sini mereka saling mengerti akan sebuah simpul suatu kenyataan. Cinta. Mungkin rasa ini namanya cinta. Cinta memang tak dapat diterka kapan akan datang dan kepada siapa ia akan datang. Semuanya tanpa rencana dan tak perlu dengan rencana untuk mendatangkannya. Semuanya mengalir. Mengalir menjadi lebih indah.

No comments:

Post a Comment